Mengapa Harus Takut? Menua Itu Normal

Ilustrasi (Generate by Cht Gpt).

TENTANGPUAN.com – Keriput di sudut mata. Uban yang mulai menyapa di balik jilbab atau topi. Tulang yang mulai sering berbunyi saat bangun tidur. Banyak dari kita mengalaminya—dan kadang, diam-diam merasa cemas.

Kita bertanya pada diri sendiri: “Apakah aku sudah tua?”

Tapi pertanyaannya yang lebih penting mungkin adalah:
“Kenapa harus takut?”

Menua Itu Bukti Kita Masih Hidup

Setiap garis di wajah, setiap rambut yang memutih, adalah tanda kita pernah menangis, tertawa, bertahan, dan mencintai.

Menua adalah bukti bahwa kita masih di sini, masih diberi waktu. Betapa indahnya itu, jika dipikir-pikir.

Bayangkan alternatifnya: tidak menua. Artinya hidup berhenti lebih dulu. Jadi, saat tubuh mulai berubah, itu justru kabar baik—bahwa kita masih punya kesempatan menjalani hidup.

Takut Karena Budaya, Bukan Karena Kita Salah

Takut menua seringkali bukan datang dari hati kita sendiri, tapi dari suara-suara luar:
“Harus tetap awet muda.”
“Harus kelihatan produktif.”
“Kalau sudah tua, sudah tidak menarik lagi.”

Semua itu adalah konstruksi sosial yang menempatkan nilai hanya pada masa muda.

Padahal, setiap usia punya keindahannya sendiri. Muda itu semangat. Tua itu kebijaksanaan. Muda itu belajar. Tua itu berbagi.

Normal, Tapi Tak Perlu Ditinggali

Merasa takut menua itu wajar. Semua orang, bahkan yang terlihat sangat percaya diri, pernah merasakannya. Tapi kita tidak harus tinggal di dalam rasa takut itu.

Kita bisa memilih untuk menerima, merangkul, dan merayakan pertambahan usia.

Menua bukan berarti selesai. Banyak orang menemukan jati dirinya justru setelah usia 40, 50, atau bahkan 60 tahun. Banyak yang baru berani mengejar mimpi setelah anak-anak dewasa.

Banyak yang menemukan cinta, makna, atau kedamaian justru di usia senja.

Hidup Tak Harus Selalu Muda Untuk Tetap Bermakna

Jadi, mengapa harus takut?
Menua adalah bagian dari hidup yang tak bisa ditolak. Tapi yang bisa kita pilih adalah cara kita menyambutnya.

Dengan senyum. Dengan penerimaan. Dengan rasa syukur bahwa kita pernah muda, dan sekarang kita tumbuh—dengan segala cerita dan kebijaksanaan yang tak semua orang punya.

Karena sejatinya, yang membuat kita hidup bukan usia di KTP, tapi semangat di dada.