TENTANGPUAN.com – “Aku cuma butuh waktu.”
“Daripada marah, lebih baik diam.”
Kalimat-kalimat ini terdengar biasa dalam sebuah hubungan. Tapi ketika diam berubah jadi kebiasaan, dan bukannya menenangkan justru membuat salah satu pihak merasa tersiksa—itulah silent treatment. Sebuah bentuk keheningan yang bukan damai, melainkan menjauh dan menghukum secara emosional
Dalam setiap hubungan—baik itu romantis, keluarga, maupun pertemanan—komunikasi sering dianggap sebagai jembatan utama. Tapi bagaimana jika jembatan itu tiba-tiba runtuh dan digantikan oleh keheningan? Bukan keheningan yang menenangkan, tapi keheningan yang menyiksa. Dalam psikologi relasi, ini dikenal sebagai silent treatment—sebuah pola diam yang disengaja untuk mengontrol, menghukum, atau bahkan memanipulasi pihak lain.
Di balik sikap diam yang terlihat pasif, silent treatment menyimpan banyak risiko dalam hubungan. Jika dibiarkan terus-menerus, ia bisa menjadi racun perlahan yang merusak kepercayaan, kasih sayang, bahkan identitas diri seseorang.
Apa Itu Silent Treatment?
Silent treatment adalah sikap sengaja mendiamkan pasangan atau orang terdekat saat sedang marah, kecewa, atau ingin membuat pihak lain merasa bersalah. Bukan sekadar tidak bicara karena butuh waktu sendiri, tapi benar-benar menciptakan dinding keheningan sebagai bentuk hukuman emosional.
Dalam hubungan jangka panjang, terutama yang intim dan emosional, silent treatment seringkali tak terlihat secara kasat mata, tapi dampaknya sangat nyata.
Diam Bukan Selalu Emas
Banyak orang dibesarkan dengan doktrin “kalau marah, diam saja daripada menyakiti.” Tapi dalam hubungan yang sudah terjalin secara emosional, diam tidak selalu menjadi pilihan terbaik. Ketika keheningan digunakan untuk menghindari konflik, menekan emosi, atau memberi hukuman, ia bisa berubah menjadi bentuk kekerasan emosional yang halus tapi tajam.
Silent treatment bukan hanya soal tidak berbicara, tapi juga menciptakan jarak, menolak validasi perasaan, dan membuat pihak lain merasa tidak penting. Ini bisa menimbulkan kecemasan, rasa bersalah, hingga kehilangan harga diri.
Mengapa Orang Memilih Diam?
Ada banyak alasan mengapa seseorang memilih diam dalam hubungan:
- Menghindari konflik: Mereka takut konfrontasi akan memperburuk keadaan.
- Tidak tahu cara mengungkapkan perasaan: Terutama dalam budaya yang menahan emosi.
- Mengontrol situasi: Dengan tidak merespons, mereka membuat lawan bicara merasa bersalah dan ‘mengejar’ penjelasan.
- Melindungi diri sendiri: Ada kalanya diam adalah bentuk perlindungan dari luka yang lebih besar.
Namun, ketika diam menjadi pola, bukan strategi sementara, hubungan bisa kehilangan arah. Komunikasi yang sehat memerlukan keterbukaan, bukan ketakutan.
Dampak Emosional dari Keheningan
Bagi penerima silent treatment, rasa ditolak bisa terasa sangat dalam. Mereka mulai mempertanyakan kesalahan yang bahkan mungkin tidak mereka pahami. Keheningan bisa membuat seseorang merasa tidak berharga, tidak layak dicintai, atau tidak dianggap. Ini adalah bentuk ghosting yang terjadi dalam hubungan, bukan di luar.
Dalam jangka panjang, keheningan yang terus-menerus dapat menghancurkan keintiman dan kepercayaan.
Hubungan yang sehat bukan tentang selalu sepakat, tapi tentang bisa saling mendengar. Silent treatment memang kadang terasa seperti “jalan aman,” tapi sebenarnya ia adalah jalan pelan menuju keterasingan. Karena pada akhirnya, suara yang diredam tidak hilang—ia hanya akan mencari jalan keluar dalam bentuk luka, jarak, atau perpisahan.
Alih-alih diam yang menyakitkan, mari ciptakan diam yang saling memahami: yang memberi ruang tanpa menjauh, yang memberi waktu tanpa meninggalkan.