Di Balik Angka Perceraian di Gorontalo: Perspektif Keadilan untuk Perempuan

Ilustrasi by generate canva.
Ilustrasi by generate canva.

TENTANGPUAN.com – Sepanjang tahun 2024, sebanyak 481 perempuan di Gorontalo resmi menjadi janda akibat perceraian, sebagaimana dilaporkan oleh Tribun Gorontalo pada 19 Desember 2024, dengan judul 481 Wanita di Gorontalo Resmi jadi Janda Sepanjang 2024 Gara-gara Cerai.

Angka ini sering kali menjadi sorotan, terutama karena berbagai stigma yang masih melekat pada perempuan pasca-cerai di masyarakat. Namun, penting untuk melihat fenomena ini dengan sudut pandang yang lebih adil dan empatik, mengingat perceraian sering kali menjadi jalan terbaik bagi banyak perempuan untuk meraih kembali kendali atas hidup mereka.

Stigma Perempuan Pasca-Cerai: Beban Ganda yang Tidak Adil

Dalam budaya patriarkal, perempuan yang bercerai kerap dianggap sebagai individu yang gagal menjalankan perannya sebagai istri. Sebutan “janda” sering kali disandingkan dengan stereotip negatif, mulai dari dianggap “perusak rumah tangga” hingga “sumber masalah” di lingkungan sosial.

Padahal, keputusan bercerai tidak pernah diambil dengan mudah. Banyak perempuan memilih perceraian setelah melalui situasi yang penuh tekanan, seperti kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, atau ketidakadilan dalam hubungan.

Stigma ini tidak hanya membatasi ruang gerak perempuan, tetapi juga memengaruhi bagaimana mereka dilihat oleh masyarakat. Ketidaksetaraan ini tercermin dalam bagaimana laki-laki yang bercerai cenderung tidak mendapat label yang sama atau dipertanyakan perannya dalam kegagalan pernikahan.

Realitas di Balik Angka Perceraian

Dari 481 kasus perceraian di Gorontalo, banyak di antaranya melibatkan perempuan yang berjuang untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat.

Data dari pengadilan agama sering kali menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti kekerasan dalam rumah tangga, ketidakmampuan pasangan memenuhi kebutuhan ekonomi, hingga perbedaan prinsip menjadi alasan utama perceraian.

Dalam konteks ini, perceraian seharusnya dilihat sebagai bentuk keberanian perempuan untuk memperjuangkan kesejahteraan diri dan keluarga mereka. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk bercerai, itu menunjukkan keinginannya untuk menghindari lingkungan yang merugikan dirinya dan mungkin juga anak-anaknya.

Menggugat Persepsi: Mengapa Stigma Harus Dihapuskan?

Stigma terhadap perempuan yang bercerai tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat perkembangan masyarakat yang inklusif dan setara.

Alih-alih menghakimi, masyarakat seharusnya memberikan dukungan kepada perempuan yang berani mengambil keputusan sulit ini. Dukungan dapat berupa pengakuan atas keberanian mereka, memberikan akses ke pendidikan atau pelatihan kerja, serta menciptakan lingkungan yang menghormati pilihan hidup mereka.

Sebaliknya, terus melanggengkan stigma hanya akan memperkuat ketimpangan gender dan mempersulit perempuan untuk bangkit pasca-cerai. Masyarakat perlu memahami bahwa perceraian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah awal baru yang memungkinkan perempuan untuk menemukan kembali martabat dan kebahagiaan mereka.

Membangun Narasi Baru untuk Perempuan

Untuk mengubah persepsi terhadap perempuan pasca-cerai, penting untuk menciptakan narasi baru yang menempatkan mereka sebagai individu yang berdaya. Media memiliki peran penting dalam hal ini dengan menyajikan berita yang tidak hanya berfokus pada angka, tetapi juga kisah-kisah inspiratif tentang perempuan yang berhasil membangun kembali hidup mereka setelah perceraian.

Organisasi perempuan dan komunitas lokal juga dapat membantu menghilangkan stigma ini dengan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender dan hak perempuan. Memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara tentang pengalaman mereka tanpa takut dihakimi akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan empatik.

Nah, sahabat puan, jumlah 481 perempuan yang resmi bercerai di Gorontalo sepanjang 2024 seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan bagaimana masyarakat memandang perceraian dan perempuan pasca-cerai.

Alih-alih mempertahankan stigma, kita perlu mengapresiasi keberanian perempuan dalam mengambil keputusan sulit untuk memperjuangkan hidup yang lebih baik. Dengan menghapus stigma, kita mendukung perempuan untuk berkembang dan berkontribusi lebih besar dalam masyarakat.