TENTANGPUAN.com – Makam Kartini Manoppo yang berada di Kelurahan Kotobangon, Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara menyimpan kisah yang nyaris terlupakan.
Kartini Manoppo, yang pernah menjadi istri Presiden pertama Indonesia, Soekarno, adalah seorang perempuan berdarah biru dari Bolaang Mongondow dengan kecerdasan dan karakter kuat yang mencerminkan nilai-nilai adat dan budaya Mongondow.
“Beliau memiliki kecerdasan dan karakter yang benar-benar memperlihatkan bagaimana wanita Mongondow. Beliau terbentuk dalam lingkungan adat istiadat dan pernah menjadi pramugari Garuda Indonesia, posisi yang hanya ditempati oleh orang-orang pilihan dengan kapasitas, integritas, dan kecerdasan memadai,” jelas Sejarawan Mongondow, Chairul Mokoginta, Rabu, 13 November 2024.
Namun, kisah besar Kartini tidak tampak pada kondisi makamnya yang saat ini terkesan tak terawat dan kurang dikenal oleh masyarakat.
Menurut pengakuan Mariam Kalimbe, seorang warga setempat, yang ditemui Tentangpuan.com, Selasa, 12 November 2024, tidak banyak orang yang tahu tentang keberadaan makam tersebut.
“Yang mengunjungi makam ada, tapi hanya waktu Lebaran, biasanya keluarga. Menurut saya, kalau dia ibu negara atau mantan istri presiden, harusnya dia dimakamkan di taman pahlawan, bukan begini, mungkin ini cuma pekuburan keluarga atau bagaimana,” katanya.
Chairul Mokoginta menyebut bahwa, area makam tersebut memang merupakan kompleks pemakaman keluarga yang ditempati oleh beberapa tokoh Bolaang Mongondow, termasuk makam AP Mokoginta, ayah dari Jenderal Yunus Mokoginta.
Ia juga menilai bahwa makam ini berpotensi menjadi situs wisata budaya yang dapat menarik perhatian, asalkan dikelola dan dipugar dengan baik.
“Jika pemerintah daerah punya keinginan untuk memperbaiki atau merehabilitasi kompleks itu, saya kira bagus ya, terutama agar akses jalan masuknya diperbaiki sehingga menarik untuk dikunjungi, tidak hanya wisatawan lokal tetapi juga mancanegara,” tambahnya.
Makam Kartini Manoppo sendiri baru diketahui keberadaannya oleh Lurah Kotobangon, Gika Ginoga, saat ia menjabat pada tahun 2022.
“Memang dari dulu tidak pernah terekspos. Saya saja baru tahu ada kuburan itu saat menjadi lurah di sekitar tahun 2022. Karena memang kurang terpelihara bagian perkuburan di sekitar situ,” tulis Gita, yang dihubungi lewat aplikasi perpesanan, Rabu 13 November 2024.
Lurah Kotobangon menyebutkan bahwa pihak kelurahan sudah melakukan kerja bakti untuk membersihkan lahan makam sebanyak tiga kali. Namun, akses menuju lokasi makam tersebut harus melewati tanah pribadi warga, sehingga mungkin Pemkot bekerja sama dengan Dinas Pariwisata untuk membahas solusi akses jalan masuk.
Menurut Gika, keterbatasan anggaran di tingkat kelurahan menjadi kendala besar dalam pengelolaan dan pemeliharaan makam Kartini Manoppo.
“Jika makam dijadikan objek budaya, tentu akan lebih baik untuk diperhatikan, tapi kembali lagi, persetujuan keluarga sangat penting. Kami juga berharap adanya insentif untuk pemeliharaan dan penjaga makam di masa depan,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, tidak ada penjaga khusus untuk makam ini karena belum tercatat sebagai cagar budaya yang dilindungi, sehingga pendanaan dan pemeliharaannya belum mendapat dukungan anggaran.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kota Kotamobagu, Anki Taurina Mokoginta, mengakui bahwa, mereka telah berupaya mengajukan penetapan makam Kartini Manoppo sebagai cagar budaya. Namun, hingga saat ini pengajuan tersebut belum disetujui oleh tim Balai Pelestarian Cagar Budaya.
“Kami sudah pernah mengajukan ke tim balai untuk ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Tetapi ada pertimbangan khusus dari tim balai, mengingat itu masih ranah keluarga,” jelasnya, Rabu, 13 November 2024.
Menurutnya, penetapan cagar budaya biasanya diprioritaskan untuk makam yang memiliki nilai sejarah yang lebih terkait dengan perjuangan daerah atau nasional.
Anki menjelaskan, meski memiliki ikatan dengan presiden pertama Indonesia, Kartini Manoppo memang jarang disebut dalam narasi sejarah nasional. Sebagian besar dokumentasi kehidupan Kartini Manoppo bersama Soekarno tidak banyak diungkap oleh pihak keluarga, sehingga penggalian informasi terkait kiprah atau kontribusi Kartini dalam mendampingi Soekarno terbilang minim.
Ia mengakui bahwa upaya pelestarian ini membutuhkan dukungan dari keluarga dan pemerintah untuk dapat memelihara serta mengelola situs tersebut dengan baik.
“Kami sudah dalam pengajuan untuk mencoba menjadikan tempat itu sebagai cagar budaya, tetapi menurut tim arkeolog, belum ada nilai historis yang lebih terhadap Bolaang Mongondow Raya,” ungkapnya.
Anki berharap agar pengelolaan makam ini dapat dihibahkan atau dikelola oleh pemerintah daerah sehingga pelestarian dapat dilakukan secara berkelanjutan.
“Untuk menjadikan makam Kartini Manoppo sebagai situs budaya, dibutuhkan hibah dari pihak keluarga kepada pemerintah atau instansi terkait agar kami bisa mengambil tindakan lebih lanjut dalam pemeliharaan makam. Ini penting untuk menjaga jejak sejarah dari tokoh-tokoh kita di Bolaang Mongondow,” katanya.
Di sisi lain, Muhammad Iksan Farika Paputungan, seorang mahasiswa dari Institute Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Pancor, Lombok Timur, mengungkapkan kekecewaannya setelah gagal menemukan lokasi makam Kartini Manoppo di Kotamobagu. Bersama mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, lelaki yang disapa Iksan ini, telah menempuh perjalanan panjang dan tiba di Kotamobagu 11 April 2024 untuk napak jejak sejarah.
Ia merasa tidak adanya penunjuk arah dan pengelolaan yang memadai membuat pengunjung dari luar daerah kesulitan saat ingin berziarah.
“Perasaan kecewa sempat ada, tapi ini sudah menjadi konsekuensi. Ada juga yang sesuai ekspektasi, dan ada juga yang tidak,” ujarnya, Iksan saat dihubungi Tentangpuan.com, Kamis, 14 November 2024.
Menurutnya, potensi budaya tempat itu seharusnya dapat dioptimalkan agar menarik lebih banyak pengunjung.
“Minimal ada pengurus agar peziarah dari luar Kotamobagu bisa dengan mudah mengakses,” tambahnya.
Ia berharap, upaya untuk memperjelas akses dan informasi terkait makam dapat segera ditingkatkan, termasuk adanya papan penjelasan mengenai sejarah tokoh-tokoh yang dimakamkan di sana.
“Seharusnya makam tersebut dilengkapi penjelasan tentang tokoh sejarah yang ada di Kotamobagu,” kata Iksan, berharap agar perhatian pemerintah daerah dapat segera terwujud.
Selain itu, pihaknya berharap agar narasi Kartini Manoppo sebagai istri Soekarno dapat lebih dieksplorasi dan diperkenalkan kepada generasi muda agar mereka memahami peran tokoh perempuan lokal dalam sejarah Indonesia.
Dengan sejarah yang mengikat, makam ini diharapkan menjadi lebih dari sekadar perkuburan keluarga; ia dapat menjadi situs yang memperkaya budaya dan sejarah di Kotamobagu, tempat tokoh-tokoh besar Bolaang Mongondow disemayamkan. Namun, jalan menuju hal tersebut masih panjang dan membutuhkan sinergi antara pemerintah, keluarga, serta masyarakat agar situs ini tidak hanya diingat, tetapi juga dihormati dan dilestarikan.
Peliput: Tri Deyna