TENTANGPUAN.com – Isu kekerasan terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas menjadi pusat perhatian dalam Debat Kedua Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara, yang berlangsung di Gedung Wale Ne Tou, Tondano, Minahasa, pada Rabu (23/10/2024).
Ketiga pasangan calon (paslon) menyoroti pentingnya isu kekerasan seksual (KS) di Sulut, terutama di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), mengingat tingginya angka kasus yang terjadi serta tantangan besar yang dihadapi korban untuk memperoleh keadilan dan perlindungan.
Mengapa Kekerasan Seksual Menjadi Topik Penting?
Kekerasan seksual di Sulawesi Utara, khususnya terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas, telah menjadi masalah serius yang terus meningkat, terutama di daerah-daerah yang terpencil dan sulit dijangkau. Banyak korban di wilayah 3T mengalami kesulitan dalam mendapatkan bantuan hukum serta perlindungan yang layak. Karena itu, penting bagi para calon pemimpin provinsi ini untuk menawarkan solusi konkret yang dapat memperbaiki situasi ini.
Debat yang mempertemukan paslon gubernur ini mencerminkan keseriusan masing-masing kandidat dalam menangani kekerasan seksual, dengan fokus pada langkah-langkah strategis yang bisa diambil untuk memastikan hak-hak korban dilindungi.
Paslon Nomor 1: Masyarakat Sebagai Garda Terdepan
Paslon Nomor Urut 1, Yulius Selvanus Lumbaa – Victor Mailangkay, menegaskan bahwa peran serta masyarakat sangat penting dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di wilayah 3T. Selvanus menyoroti minimnya infrastruktur dan layanan di wilayah-wilayah terpencil tersebut sebagai hambatan besar bagi penegakan hukum, sehingga ia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat untuk mengawasi dan membantu para korban.
“Kita akan melibatkan masyarakat dalam pengawasan dan pembinaan, karena di wilayah 3T, infrastruktur yang minim menjadi tantangan besar. Aparat keamanan yang bertugas di sana juga harus mengawasi dan membimbing masyarakat agar tindakan kekerasan tidak terjadi,” kata Selvanus.
Paslon Nomor 2: Kolaborasi Pemerintah dan Pendidikan
Paslon Nomor Urut 2, Elly E Lasut-Hanny J Pajouw, menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya terbatas pada kekerasan seksual, melainkan juga kekerasan verbal dan fisik yang dapat berdampak pada psikologis korban. Mereka mengajukan pendekatan kolaboratif antara sektor pendidikan dan pemerintah dalam mengawasi kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Kekerasan verbal dan fisik juga merugikan masa depan anak dan keluarga. Untuk itu, kita perlu kolaborasi antara sektor pendidikan dan pemerintahan untuk mengawasi hal ini, sehingga ketika kekerasan terjadi, penegakan hukum bisa segera dilakukan,” ujar paslon nomor urut 2.
Paslon Nomor 3: Advokasi dan Shelter bagi Korban Marginal
Paslon Nomor Urut 3, Steven OE Kandouw-Denny Tuejeh, menyoroti bahwa korban kekerasan seksual dari kalangan perempuan, anak, dan penyandang disabilitas, terutama yang berasal dari kelompok marginal, sering kali tidak memiliki akses ke advokasi hukum. Mereka berkomitmen untuk menyediakan advokasi gratis bagi para korban, serta mendirikan shelter atau rumah singgah bagi korban yang mengalami trauma.
“Kaum marginal tidak punya kemampuan untuk membayar pengacara, sehingga kami akan menyediakan advokasi gratis bagi mereka. Selain itu, rumah singgah atau shelter bagi korban kekerasan seksual yang mengalami trauma sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan dan pemulihan,” jelas paslon nomor urut 3.
Mengapa Topik Ini Penting dalam Pemilihan Gubernur?
Ketiga paslon sepakat bahwa kekerasan seksual merupakan isu mendesak yang harus segera ditangani, dan mereka menawarkan solusi berdasarkan pendekatan yang berbeda.
Tantangan yang dihadapi Sulut dalam menangani kekerasan seksual, terutama di wilayah 3T, menuntut kebijakan yang mampu memberikan akses keadilan dan perlindungan lebih luas bagi korban. Debat ini menunjukkan komitmen masing-masing calon untuk mengatasi permasalahan tersebut, dengan memberikan perhatian lebih pada korban di wilayah marginal.
Pentingnya pembahasan isu ini dalam debat menandakan bahwa masyarakat Sulawesi Utara berharap akan adanya perubahan nyata dalam penanganan kekerasan seksual, sehingga para korban bisa mendapatkan perlindungan yang lebih baik serta akses yang layak terhadap keadilan.