Korban Merana Pelaku Berkelana: Bayang-bayang KBGO di Kotamobagu

Ilustras digenerate dengan AI Image (Prompt via Canva / Ronny A. Buol)
Ilustras digenerate dengan AI Image (Prompt via Canva / Ronny A. Buol)

TENTANGPUAN.com – GERIMIS mewarnai derap langkah Aryati Ella Panu SH, saat melewati lorong menuju kantin. Ia baru saja keluar dari ruangan bertuliskan “Unit PPA Kepolisian Resor (Polres) Kota Kotamobagu”. Sebagai pengacara perempuan, ia sering mendampingi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ada di lingkup Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara.

Sambil menarik napas, Aryati yang ditemani pengacara perempuan lain, bercerita, bagaimana selama ini dirinya ketika mendapingi klien, terutama para penyintas kekerasan berbasis gender online atau KBGO.

KBGO adalah kekerasan yang dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas teknologi, dengan maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksualitas. Di Kota Kotamobagu, kasus ini marak terjadi.

Menyasar Lintas Usia

Sepanjang karirnya sebagai pengacara, Aryati mengatakan, kurang lebih sudah ada 5 klien dengan kasus KBGO yang datang padanya. Rata-rata mengalami gangguan psikologi. Mereka merasa depresi, cemas dan takut. Namun tidak ada pilihan sehingga akhirnya berani meminta bantuan hukum.Adalah Cinta (bukan nama sebenarnya), penyintas KBGO dari Kecamatan Kotamobagu Timur, yang didampingi oleh Aryati. Ia merupakan penyintas KBGO kategori Non Consensual Intimate Image (NCII) atau tindakan menyebar konten intim berupa gambar atau video tanpa persetujuan korban.

“Mereka kerap mengancam akan menyebarkan gambar korban jika tidak mengirimkan uang lagi,” ucap Aryati, Senin, 4 Juni 2024. Karena merasa takut, korban terpaksa mengirimkan sejumlah uang hingga puluhan juta.Tidak hanya Cinta yang usianya hampir jelang kepala empat. Kasus KBGO di Kota Kotamobagu juga menyasar anak usia remaja. Sebut saja Bunga, penyintas KBGO dari Kecamatan Kotamobagu Selatan. Saat meminta bantuan hukum, ia masih duduk di bangku SMA.

“Ia berusaha menjalani aktifitas seperti biasa, namun ia mengaku tertekan, takut viral apabila gambarnya tersebar,” jelas Aryati.

Aryati Panu, pengacara dan pendamping korban KBGO di Kotamobagu. (Foto: koleksi pribadi).

Tanpa disadari, kasus KBGO di Kota Kotamobagu terus meningkat seiring dengan perkembangan teknologi. Aryati meyakini, KBGO di kota jasa ini sudah sangat banyak. Hanya saja, korban tidak memiliki akses, atau tidak mempunyai cukup keberanian untuk menempuh jalur hukum.Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Aseanty Pahlevi, saat menjadi narasumber Pelatihan Pengenalan KBGO untuk Jurnalis yang digelar Konde.co kerjasama dengan Bincangperempuan.com pada 11 Mei 2024 lalu, mengatakan, sebenarnya KBGO bersumber dari serangan digital dengan bentuk yang beragam.

Menurut perempuan yang akrab disapa Mbak Leavy ini, bahaya serangan digital ada begitu banyak. Hal tersebut dikarenakan serangan bisa terjadi kapan saja sepanjang hari tanpa mengenal waktu. Pelakunya bisa dari mana saja, dan tujuan serangan bisa apa saja. Makin tak terlihat makin bahaya, dan dampaknya tidak bisa diukur serta bentuk serangannya beragam.

”Serangan digital terbagi dua, yakni serangan teknis dan psikologi. Serangan digital teknis bisa berupa phising atau pemancingan melalui pesan seperti email dan pesan private yang berisi tautan berbahaya (malware); penyadapan, yakni menyadap komunikasi kedua belah pihak; peretasan berupa penguasaan atau bahkan pengambil-alihan aset digital korban; robocall atau panggilan dari nomor yang tidak dikenal yang dilakukan berulang-ulang dan SMS masking yakni pengiriman pesan atas nama target serangan,” jelasnya.

Dari bentuk serangan tersebut Leavy menyebut setidaknya ada beberapa contoh KBGO, yaitu:

Flaming: pengiriman spam pesan berisi pelecehan atau penghinaan.
Sextortion: tindakan menyalahgunakan kekuasaan atau mengancam untuk mendapatkan keuntungan seksual.
Image Based Abuse (IBA): tindakan pengancaman menyebar gambar atau video korban.
Non Consensual Intimate Image (NCII): tindakan menyebar konten intim berupa gambar atau video tanpa persetujuan korban.
Cyber flashing: tindakan mengirim atau merekam gambar dan video alat kelamin dan tindakan seks secara online tanpa persetujuan
Trolling sengaja membuat orang lain kesal dengan mengunggah konten yang menghasut.

Aduan pelanggaran hak-hak digital ke SAFEnet.

Leavy mengungkap, saat ini SAFEnet sudah menerima sekitar 5.253 aduan kasus pelanggaran hak-hak digital, 2.927 di antaranya adalah kasus KBGO.Di Kota Kotamobagu, meski istilah KBGO belum familier, namun korbannya sudah cukup banyak. Dari sumber resmi ZONAUTARA.com, beberapa di antaranya justru tidak melapor ke kepolisian, melainkan mendatangi Dinas Komunikasi dan Informasi (Diskominfo) Kota Kotamobagu. Para korban berharap Diskominfo bisa memblokir akun atau akses pelaku ke korban.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Diskominfo Kota Kotamobagu, Muh. Fahri Damopolii berharap masyarakat lebih terpapar literasi digital. Menurut Fahri karena literasi digital bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, tetapi kebutuhan dasar di dunia yang semakin terdigitalisasi.“Dengan literasi digital, individu dapat melindungi diri dari ancaman online, berkomunikasi dan berkolaborasi dengan lebih baik, terus belajar, berpartisipasi dalam ekonomi digital, menyaring informasi dengan kritis, terlibat dalam proses demokrasi, serta berinovasi dan menjaga privasi online. Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan dan pelatihan, saya selalu menyisipkan literasi digital,” aku Fahri.

Dirinya juga mengimbau, agar masyarakat Kota Kotamobagu jangan mudah terpancing dan bisa lebih bijak menggunakan media sosial.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kotamobagu melalui UPTD PPA, sepanjang tahun 2024, baru ada 1 kasus KBGO yang dilaporkan.

“Sekarang masih dalam tahap pendalaman,” ucap Kepala UPTD PPA Kotamobagu, Susilawaty Ginoga.

Hingga saat ini, UPTD PPA Kota Kotamobagu sudah menerima 57 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Seperti kasus kekerasan lainnya yang dilaporkan di UPTD PPA, Susi menyebut jika dalam menangani kasus KBGO, pihaknya bekerjasama dengan psikolog, pengacara, serta berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan.

Kendala Penanganan Kasus KBGO di Kota Kotamobagu

Mulai maraknya KBGO di Kota Kotamobagu membuat Aryati kesal. Sebagai pengacara dirinya belum bisa mendampingi klien hingga ke persidangan. Dari 5 kasus KBGO yang ia tangani, tak satu pun yang berhasil masuk ke meja hakim. Semuanya hanya sampai pada tahap pelaporan di kepolisian.

Bukan tanpa alasan, rata-rata pelaku KBGO di Kota Kotamobagu justru berada di luar Sulawesi dan memiliki kemampuan teknologi yang mempuni. “Di beberapa kasus, pelakunya tersistematis dan terstruktur,” jelas Aryati.

Menurutnya, lebih mudah mendampingi penyintas kekerasan yang terputus dari jaringan (luring) sebab pelakunya mudah dicari, daripada berbasis digital.

“KBGO sering kali sulit diproses hukum karena beberapa alasan utama, misalnya kesulitan identifikasi pelaku,” kata Aryati.

Pelaku KBGO sering menggunakan identitas palsu atau anonim, sehingga sulit untuk melacak dan mengidentifikasi mereka. Selain itu, mereka bisa menggunakan teknologi seperti VPN atau proxy untuk menyembunyikan lokasi mereka.

“Pihak kepolisian kota juga belum bisa melacak sejauh itu, alatnya hanya ada di Makasar. Kalau pun terlacak posisinya, harus dijemput, jauh dan tentu butuh biaya operasional yang besar,” keluh Aryati.

Meski begitu, dirinya tetap berupaya mendampingi pelaku serta mencoba meminta mereka untuk sementara belum menggunakan media sosial. Hal ini bersesuaian dengan langkah awal, bagaimana merespon kasus KBGO yang disarankan SAFEnet.

“Menyimpan barang bukti ancaman KBGO yang diviralkan, buat kronologi, memutus komunikasi dengan pelaku, melakukan pemetaan risiko, dan melapor ke platform digital,” jelas Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet, Aseanty Pahlevi.

Kantor UPTD PPA Kota Kotamobagu, (Foto: Sajidin Kandoli).

Dukungan dan Akses Keadilan

Besarnya kendala menangani kasus KBGO tak membuat Aryati patah arang, berdasarkan pengalamannya, ia memahami, jika tidak semua korban ingin kasusnya berakhir di pengadilan.

“Ada beberapa yang ngotot. Tapi kebanyakan malu kan, kadang mereka hanya ingin pelaku berhenti meneror saja,” kata Aryati.

Dalam menangani kasus KBGO penting bagi pendamping untuk melihat lebih dalam soal akses keadilan, tidak hanya sekadar masalah pidana. Keadilan bisa memiliki makna berbeda-beda bagi setiap korban. Hal tersebut dikatakan Dhyta Caturani dari Purplecode Collective.

“Ini penting untuk disadari dan dipahami, khususnya bagi pendamping. Tidak sebatas pada kerangka hukum pidana, tapi juga memikirkan upaya-upaya pemulihan yang berorientasi pada kepentingan dan keinginan korban yang lebih efektif,” jelas Dhyta.

Ia mengatakan, di Indonesia, beberapa undang-undang telah diberlakukan untuk mengatasi dan menangani kasus KBGO, meskipun masih terdapat berbagai tantangan dalam implementasinya. Setidaknya ada empat kerangka regulasi hukum yang bisa diterapkan dalam kasus KBGO, yaitu:

Undang Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ini adalah landasan hukum yang mengatur pencegahan dan penanganan segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Undang undang ini mengakui dan melindungi hak-hak korban kekerasan seksual, serta memberikan kerangka hukum yang lebih jelas untuk penegakan hukum terhadap pelaku. Dalam konteks KBGO, UU TPKS menjadi dasar hukum yang penting untuk menindak pelaku yang melakukan pelecehan atau kekerasan seksual secara online.

Undang Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ini adalah aturan hukum yang mengatur segala hal tentang teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia. Beberapa pasal dalam UU ITE yang relevan untuk KBGO antara lain:

Pasal 27 Ayat 1, yang mengatur tentang larangan mendistribusikan atau mentransmisikan konten yang melanggar kesusilaan. Pasal 27 Ayat 3 yang mengatur tentang larangan mendistribusikan atau mentransmisikan penghinaan atau pencemaran nama baik.

Terdapat pula Pasal 28 Ayat 1 dan 2 yang mengatur tentang larangan penyebaran berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen serta penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan. Serta Pasal 29 yang mengatur tentang larangan pengiriman informasi elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Pasal-pasal dalam UU ITE ini memberikan kerangka hukum yang cukup untuk menindak pelaku KBGO yang menyebarkan konten intim tanpa izin, melakukan ancaman, atau melakukan tindakan lain yang merugikan korban.

Undang Undang No 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Regulasi ini mengatur tentang perlindungan data pribadi individu dari penyalahgunaan. Pasal 65 dan 68 dalam UU PDP sangat relevan dalam konteks KBGO

Pasal 65, mengatur tentang hak individu untuk mendapatkan informasi terkait pengumpulan, pengolahan, dan penyimpanan data pribadi mereka, dan Pasal 68 yang mengatur tentang kewajiban pengendali data untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan data pribadi yang mereka kelola.

UU PDP memberikan perlindungan tambahan bagi korban KBGO dengan memastikan bahwa data pribadi mereka tidak disalahgunakan atau disebarluaskan tanpa izin.

Undang Undang No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Dalam undang undang ini diatur soal larangan pembuatan, penyebaran, dan penggunaan konten pornografi. Dalam konteks KBGO, undang undang ini relevan untuk menindak pelaku yang menyebarkan konten intim atau pornografi tanpa izin korban.

“Berbagai kebijakan hukum telah diterapkan di Indonesia untuk menangani kasus KBGO, termasuk UU TPKS, UU ITE, UU PDP, dan UU Pornografi. Meskipun demikian, tantangan dalam implementasi masih perlu diatasi melalui peningkatan pemahaman, pelatihan aparat penegak hukum, serta kerjasama internasional yang lebih baik. Dengan demikian, perlindungan terhadap korban KBGO dapat lebih dioptimalkan dan keadilan bagi korban dapat lebih mudah dicapai,” ucap Dhyta Caturani dari Purplecode Collective

Bentuk-bentuk serangan digital di Indonesia tahun 2023.

Perlu Peran Pemerintah

Untuk mempermudah implementasi penegakan hukum dan perlindungan korban, penting bagi pemerintah melakukan sosialisasi untuk mengenalkan KBGO kepada masyarakat Kota Kotamobagu. Setidaknya, itulah yang diyakini Aryati.

Menurutnya, fenomena ini tidak hanya berdampak pada korban secara individual, tetapi juga berpengaruh pada kesejahteraan sosial dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan. Ia menjelaskan mengapa peran pemerintah sangat vital dalam konteks ini.

“Pemerintah memiliki otoritas untuk menciptakan dan mengimplementasikan regulasi yang dapat melindungi masyarakat dari ancaman KBGO. Undang undang yang jelas dan tegas mengenai tindakan-tindakan yang termasuk dalam KBGO, serta sanksi bagi pelaku, akan memberikan perlindungan hukum bagi korban dan mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender di dunia maya,” kata Aryati.

Selain itu, sosialisasi dan edukasi mengenai KBGO adalah langkah fundamental yang dapat dilakukan pemerintah.

Kampanye kesadaran melalui media massa, media sosial, dan berbagai platform lainnya dapat membantu masyarakat memahami apa itu KBGO, bagaimana mengenalinya, serta langkah-langkah yang dapat diambil untuk melindungi diri.

Kantor DP3A Kota Kotamobagu, (Foto: Sajidin Kandoli).

Pemerintah dapat bekerja sama dengan LSM, sekolah, dan organisasi masyarakat untuk menyebarluaskan informasi ini secara luas. Di samping, korban KBGO seringkali membutuhkan dukungan psikologis, hukum, dan sosial.

Pemerintah dapat menyediakan layanan ini melalui pusat bantuan atau hotline yang khusus menangani kasus-kasus KBGO. Selain itu, pelatihan bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus KBGO secara sensitif dan efektif juga sangat diperlukan.

“Pentingnya peran pemerintah dalam sosialisasi dan penanggulangan KBGO tidak dapat diabaikan. Melalui regulasi yang ketat, kampanye pendidikan, dukungan bagi korban, kolaborasi dengan sektor swasta, penelitian, dan peningkatan kesadaran hukum, pemerintah dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan inklusif. Langkah-langkah ini tidak hanya melindungi individu dari kekerasan berbasis gender online, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap keamanan di dunia maya. Dengan demikian, kolaborasi berbagai pihak dan komitmen dari pemerintah menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan KBGO di era digital ini,” harap Aryati.

Sayangnya di Kota Kotamobagu harapan Aryati jauh dari kata terwujud. Berkali-kali dihubungi Zonautara.com, baik didatangi secara langsung atau dihubungi melalui telepon, Kepala Dinas DP3A Kota Kotamobagu, Sarida Mokoginta, tidak merespon.

Hingga berita ini tayang Sarida Mokoginta belum menjawab pertanyaan bagaimana pihaknya memandang KBGO, termasuk upaya apa yang akan dilakukan DP3A untuk menangani kasus seperti ini di Kota Kotamobagu.

Tapi Kepala UPTD PPA Kota Kotamobagu Susilawaty Ginoga berharap anak-anak harus mendapatkan pendampingan orangtua saat menggunakan media sosial, agar tidak menjadi korban KBGO.

Leave a Reply

Your email address will not be published.