TENTANGPUAN.COM – Hari masih terasa dingin, dari ujung lorong orang-orang sudah ramai berkerumun, berebut, menghampiri Martini Palakum (59) sedang membagikan bungkusan plastik berisi buah Matoa.
Buah yang bernama latin Pometia Pinnata ini, baru saja dipanen Martini di halaman rumahnya. Martini memiliki dua pohon matoa, matoa jenis Kelapa ditanam di depan, jenis Papeda ditanam di belakang rumah. Jenis Kelapa cenderung jadi favorit, karena memiliki tekstur daging padat dan kenyal, sementara jenis Papeda terasa lebih lembek dan lengket. Buahnya melimpah. Saking banyaknya, anak-anak dan suami Martini menjadi tidak begitu suka.
Daripada rusak, busuk, atau habis dimakan burung, Martini sering membagikan hasil panen ke tetangga-tetangga. Martini enggan menjual, menurutnya tidak-lah elok menjual buah ini, sementara tetangga hilir mudik menyaksikan proses tumbuh kembang hingga berbuahnya tidak bisa turut menikmati. Itu terasa tidak adil.
Memang, di kediaman Martini, di Lorong Tabubuk, Keluruhan Motoboi Kecil, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Kota Kotamobagu, buah ini tidak begitu banyak dijumpai. Hanya beberapa saja yang memilikinya termasuk Martini. Walau, secara umum di Kotamobagu banyak sekali pohon matoa, terutama di beberapa wilayah seperti Kelurahan Matali, tak jarang orang sering menganggap matoa sebagai ikon Kotamobagu. Meski sebenarnya, buah berdiameter 2,2 – 2,9 cm ini, adalah buah khas Papua.
Entahlah, Martini juga tidak tahu persis kenapa buah matoa tumbuh di pekarangan rumahnya. Dia merasa tidak pernah menanam kedua pohon ini. Dia selalu beranggapan mungkin dibawa burung. Selain suami dan anak-anaknya, tak banyak yang tahu, Martini justru direpotkan oleh dedaun dan bunga buah ini.
Umumnya, dalam setahun matoa sekali berbuah. Pada bulan Juli-Oktober (musim berbunga) Martini bahkan bisa tiga sampai empat kali menyapu halaman rumah, bunga-bunga matoa jatuh seperti salju. Usai masa berbunga, tiga atau empat bulan kemudian pohon ini akan berbuah. Apalagi, terkadang matoa di rumah Martini bisa berbuah hingga dua sampai tiga kali. Bisa dibayangkan bagaimana buah ini membuat Martini kewalahan menerapkan prinsip hidupnya untuk selalu menjaga kebersihan.
Bukan tidak pernah, Martini berniat menebang pohon ini. Pohon besar dengan tinggi rata-rata 18 meter, berdiameter rata-rata maksimum 100 cm, bisa tumbuh baik pada daerah dengan kondisi wilayah dataran rendah hingga ketinggian kurang lebih 1200 mdpl. Dengan curah hujan yang tinggi matoa di halaman rumah Martini tetap tumbuh subur walau sudah berkali-kali ditebang. Dari bekas batang yang ditebang itu, selalu saja muncul tunas pohon baru. Membuat Martini menyerah dan membiarkan pohon ini mempersejuk pekarangan rumah.
Sebenarnya, oleh beberapa orang, Martini disarankan menjual buah matoa miliknya. Buah matoa cukup mahal, perkilonya Rp. 25.000,00 terkadang lebih mahal lagi. Di daerah tetangga, seperti Manado, dan Palu, harga jual buah ini bahkan bisa mencapai Rp. 60.000,00 perkilonya. Sehingga cukup potensi untuk menunjang perekonomian. Sayang, Martini tetap bersikukuh untuk tidak menjualnya.
“Buah ini cukup dicari. Dan karena tergolong buah premium, ya saya sendiri yang harus mencari-cari langsung ke rumah-rumah yang memiliki Matoa, langsung memborong per pohon. Biasanya, buah ini dijadikan ole-ole dari Kotamobagu bersama dengan kacang goyang,” kata Ria Tampoi, (42), salah seorang pedagang buah di Pasar Serasi Kotamobagu.
Selain memiliki cita rasa yang manis, matoa juga tergolong buah yang tahan lama atau tidak mudah rusak. Jadi, tidak susah berbisnis buah ini. “Kalau tidak luka, dia bisa bertahan hingga 5 hari, asalkan belum terbelah, atau ada bekas dimakan hewan saja,” singkat Ria.
Sebagai pemburu matoa, Ria pernah coba mau membeli buah matoa milik Martini. Pohon yang menjulang dan rimbun itu dari segala sudut jalan di komplek Martini begitu mudah dilihat, wajar Ria bisa tahu, meski tetap saja, Martini tidak berniat menjualnya.
“Katanya buah ini khas Papua, bisa tumbuh di Sulawesi, dan New Guenia. Saya bersyukur saja, ya paling tidak saya bisa berbagi. Soal mengapa tidak dijual, ya karena buah ini juga tumbuh dengan sendiri, bukan sengaja saya tanam,” ucap Martini, Senin, (10/02/2020).
Dirinya berharap, masyarakat tidak lagi dipusingkan bagaimana dan darimana buah ini berasal. Apa pun itu, matoa adalah bagian dari kemurahan tuhan terhadap masyarakat di Kotamobagu.
“Bagi yang suka syukur, bagi yang tidak, ya tidak apa juga. Fakta bahwa tuhan telah bermurah hati harusnya disyukuri, dikarunia tanah yang subur, Kotamobagu bisa lebih mudah berkembang, bagaimana bahkan buah khas Papua bisa tumbuh subur dan membumi di tanah Bogani ini,” pungkas Martini.