Tentangpuan.com – Menjadi saksi atau korban kekerasan tentu tidaklah menyenangkan. Banyak sekali orang terutama wanita yang mengalami trauma dan sulit sekali bangkit.
Punya masalah atau pernah mengalami kesusahan yang sama sering menyatukan manusia. Wanita-wanita yang menderita karena perang di daerah Kurdish, Suriah pun berkumpul dan membuat komunitas. Mereka bahkan memisahkan diri untuk tinggal di desa tanpa laki-laki.
Disebut dengan Jinwar, tempat tersebut diisi oleh para janda dan wanita yang menjadi korban KDRT juga serangan seksual.
Jinwar yang berarti tanah wanita dalam bahasa Kurdi awalnya menampung lima keluarga dan dibuka sejak Hari Perempuan Internasional di 2018.
Kini tempat tersebut berkembang menjadi desa yang menampung wanita beserta anak-anaknya untuk saling mendukung saat mereka harus hidup tanpa pria. Banyak dari penghuninya yang merupakan korban perang karena ditinggal suami melawan ISIS.
“Aku hidup dengan ISIS dan situasinya menjadi sangat sulit untuk para wanita. Aku harus selalu ditutupi dan tidak bisa melakukan apa-apa. Suamiku juga sudah lelah hidup dengan ISIS,” ujar seorang wanita Arab 35 tahun yang punya tujuh anak dan suaminya meninggal karena perang dilansir ABC.
Para wanita korban patriarki dan kapitalisme itu lalu bersatu untuk membuat sistem yang aman dan damai bagi mereka dan anak-anak. Desa khusus wanita ini menampung semua kalangan dan tak memandang etnis atau agama sehingga terbuka untuk siapapun yang membutuhkan. Tak hanya melindungi sesama, tempat itu juga ramah lingkungan.
“Tempat ini akan menjadi penampungan untuk mereka yang menderita kekerasan, rumah untuk para janda dengan anak-anak yang kehilangan suami-suami mereka selama perang, dan tempat untuk mereka keluarga dari lingkungan kapitalis.
Semua wanita membantu membangun rumah menggunakan lumpur, pakan ternak, kayu, hasil alam yang tidak mencemari lingkungan. Energi yang bisa diperbarui digunakan, kebanyakan kekuatan solar,” kata wanita bernama Nunjin.
Menemukan lingkungan yang harmonis dan bisa berkontribusi terhadap orang-orang sekitar, beberapa wanita mengaku tidak berkeinginan untuk menikah lagi. “Aku tidak akan menikah lagi karena aku punya banyak anak dan tidak ada yang mau menikahiku. Ini pertama kalinya aku merasa bebas, tidak ada yang memintaku memakai sesuatu atau melakukan sesuatu,” tambah Nurjin.
Hal yang sama diungkapkan oleh Amira. “Kami pernah dihina dan disiksa dengan brutal oleh suami-suami kami dan oleh para militan ISIS. Apabila perempuan tidak mengenakan pakaian hitam, dia akan dicambuk. Apabila seorang perempuan memperlihatkan matanya, dia akan dicambuk. Zaman itu sudah berakhir. Kini ada demokrasi, dan kami merasakan kebebasan,” kata Amira, penduduk desa tersebut dilansir VoA.
Disebut desa khusus wanita, wilayah tersebut bukan benar-benar anti dengan pria. Selain anak-anak lelaki, pria dewasa juga diperbolehkan untuk masuk tapi hanya pada waktu-waktu tertentu. Para pria yang berkunjung pun tidak diizinkan untuk menginap.