Tentangpuan.com – Kebanyakan dari kita sudah mendengar Darwin sebagai satu isyarat, untuk menyelam jauh, ke dalam nukleus basah sebuah sel, dan muncul ke permukaan, dengan segenggam objek asing baru.
Kita masih mencemaskan sebuah buku, dengan kata celaka dalam judulnya: The Man Descent of Man. Sungguh tidak enak membayangkan nenek buyut dan kakek buyut turun secara harfiah, dengan lincah, dari pohon penuh tumbuhan rambat ke tumbuhan lainnya, menggaruk-garuk dan minta pisang.
Sudah barang tentu, kaum agamis fundamentalis pasti akan menolak Darwinisme, karna bertentangan dengan proses penciptaan manusia, dalam kitab-kitab suci.
Kecaman golongan fundamentalis sangat keras. Kebencian menyeruak ketika, sesekali di kota-kota kecil mereka menyuarakan keberatannya pada teori evolusi di sekolah-sekolah umum.
Tragisnya, orang-orang itu merasa, harus memilih kitab suci atau sains modern. Mereka hidup, dan bekerja, di dunia yang sama seperti kita. Dan tahu cemooh yang mereka terima dari orang-orang yang wilayah kebodohannya mungkin berbeda. Yang membongkar palungan mereka ketika pindah di kota, dan membuang bayi berikutnya ke dalam jerami.
Yang lebih tidak menarik dalam merespon gambaran evolusi baru, dan sekarang masih begitu. Adalah kaum Darwinis sosial, kaum Darwinis sosial menggunakan frase Harbert Spencer, “yang bisa bertahan adalah yang paling kuat” (the survival of fhe fittest), menerapkannya pada kapitalisme, dan menggunakannya, dalam mengesahkan praktek-praktek bisnis tercela dan bengis.
Seorang Darwinis sosial tidak akan mengidentifikasi diri dengan pengertian itu; Darwinisme sosial, katanya, bukan sebuah agama melainkan sebuah jalan hidup.
“Seorang Darwinis sosial mengatakan padaku: Kalau kau begitu pintar, mengapa kau tidak kaya?”
Aku yakin gagasan ini masih laku setiap kali orang mencari kekuasaan: bahwa lomba ini adalah adu cepat.Bahwa setiap orang yang ikut berlomba, dengan berbagai derajat, berdasarkan keberhasilan atau kegagalan, dan bahwa hadiahnya itulah yang paling bernilai.