Posisi Perempuan dalam Upaya Eliminasi Tuberkulosis

/
Ayunita Mokoagow
Ayunita Mokoagow, (sumber foto: facebook)

Tentangpuan.com – Perempuan sebagai penyembuh. Kalimat tersebut sepertinya bukan hanya bisa disematkan pada para tenaga kesehatan perempuan, tetapi juga pada semua perempuan di dunia ini.

Secara umum, kesabaran dan daya tahan perempuan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan untuk mengatur sistem di dalam rumah tangga, bisa menjadi kunci utama dalam melakukan pendekatan perubahan sikap bagi para penderita tuberkulosis atau TBC.

Posisi Indonesia yang menempati urutan kedua di dunia dengan kasus TBC aktif terbanyak, menjadi momok tersendiri dalam masyarakat. Terutama soal risiko penjangkitan penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis ini, membuat penderita TBC hingga sekarang masih sangat lekat dengan stigma.

Ketakutan terhadap stigma negatif di lingkungan masyarakat membuat penderita TBC cenderung tertutup sehingga sangat sulit didampingi agar bisa mengakses layanan kesehatan. Pada kondisi seperti ini sangat dibutuhkan peran perempuan terdekat.

Ayunita Mokoagow, Penanggungjawab (PJ) Tuberkulosis-Kusta, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Motoboi Kecil, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Kota Kotamobagu, mengatakan, di tengah pelbagai keterbatasan penanganan eliminasi TBC, keterlibatan perempuan selama ini dianggap berhasil membawa dampak positif.

“Perempuan terdekat dalam lingkaran penderita sangat membantu dalam meyakinkan termasuk mengontrol perkembangan dan kedisiplianan penderita dalam meminum obat, misalnya,” kata Ayunita, kepada Tentangpuan.com Minggu, (25/04/2021).

Menurut Ayunita, kesembuhan penderita TBC tak hanya ditentukan obat atau suport system yang baik, tetapi juga bagaimana perempuan di lingkaran terdekat mau bekerjasama memberikan intervensinya dalam mengupayakan kesembuhan dan memutus mata rantai penyebaran.

“Kadang penderita lebih mendengar ibu mereka, atau istri mereka, daripada petugas medis. Jika pun yang menderita TBC adalah perempuan, toh nantinya dia akan tetap mengatur dan mengurus rumah tangga. Penting bagi dirinya untuk mengetahui pananganan atau cara pencegahan penularan sehingga orang-orang terdekat atau keluarganya bisa terbebas dari penjangkitan penyakit ini,” tutur Ayunita.

Berhasil sembuh, salah seorang warga Kecamatan Kotamobagu Selatan, menceritakan, bagaimana kesulitan yang harus Ia hadapi saat menjalani pengobatan.

“Pun tanpa stigma masyarakat, secara mental penderita sudah mengalami tekanan yang besar. Belum lagi, harus menjalani proses pengobatan selama enam bulan yang cukup memakan waktu, sehingga harus berhadapan dengan efek obat TB yang beragam,”katanya..

“Kesemua itu tidak mudah dilalui. Jadi tak heran jika banyak penderita yang mengucilkan diri sendiri, bahkan mungkin tidak mau jujur dengan kondisi sebenarnya,” jelasnya.

Mahasiswi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makasar ini mengaku, jika peran ibu sangat besar dalam proses penyembuhannya.

“Ibu itu segalanya, tanpa kuasa Allah SWT, bantuan petugas TB, dan orangtua, utamanya ibu, mungkin saya tidak bisa sembuh dan berani berbagi kisah seperti ini. Jika di Puskesmas ada PJ yang intens mengontrol saya, maka di rumah ada ibu yang menjadi perawat, tidak hanya kepada saya, tetapi semua anggota keluarga agar tidak terjangkit, dan itu dilakukan tanpa diketahui orang lain,” katanya.

Keterlibatan perempuan, ketelatenan dan kesabaran tak lepas dari pemberian diri untuk melakukan hal terbaik demi orang-orang yang dicintainya. Perempuan bisa memegang kuasa dalam kontrol pengaturan siklus kesehatan dan kesembuhan orang-orang terdekatnya.

Disclaimer: Untuk menjaga kebocoran data dan kenyamaan penyintas TBC, nama dan alamat tidak kami sebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published.