TENTANGPUAN.com – Bagi banyak anak, layar ponsel kini menjadi ruang bermain, belajar, sekaligus bersosialisasi. Namun, di balik kemudahan itu, risiko yang mengintai semakin berlapis, dari konten seksual dan ujaran kebencian hingga manipulasi gambar berbasis akal imitasi dan penyalahgunaan data pribadi. Kompleksitas ancaman inilah yang mengemuka dalam talkshow “Bangun Ruang Digital Ramah Anak #TungguAnakSiap” yang digelar Magdalene bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI di Jakarta Selatan, Senin (9/12) lalu.
Acara yang dihadiri sekitar 120 orang tua, guru, dan pendidik ini menyoroti urgensi implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas), yang disahkan Presiden Prabowo Subianto pada Maret 2025.
Tiga pembicara hadir dalam diskusi tersebut, yakni psikolog anak dan remaja Gisella Tani, influencer gentle parenting Halimah, serta Direktur Sekolah Putra Pertiwi Noviyanti Elizabeth. Mereka memaparkan temuan lapangan terkait dampak langsung ruang digital terhadap anak, sekaligus menegaskan perlunya kolaborasi lintas sektor agar PP Tunas tidak berhenti sebagai regulasi di atas kertas.

Tekanan Visual, Konten Seksual, hingga Deepfake
Psikolog anak dan remaja Gisella Tani–yang akrab disapa Ella–menjelaskan bahwa media sosial menciptakan tekanan visual yang kuat bagi anak. “Mereka berpikir harus tampil seperti itu untuk disukai,” ujarnya.
Kerentanan tersebut diakui langsung oleh para orang tua. Vera, perwakilan komite yayasan sekolah swasta di Tangerang Selatan, menuturkan anak perempuannya yang masih duduk di bangku SMP mulai tertarik mencoba tindakan tidak pantas setelah melihat konten seksual di internet.
“Saya tidak menyangka dampaknya bisa sebesar itu,” katanya.
Pengalaman serupa juga disampaikan Suparto, seorang tenaga pengajar yang hadir dalam acara tersebut. Di sekolah, ia mencatat berbagai bentuk kerentanan siswa akibat penggunaan gawai tanpa pendampingan memadai. Mulai dari murid yang berutang demi top-up gim daring, anak Sekolah Dasar yang mengakses konten pornografi lewat tautan YouTube, hingga siswi yang menjadi korban penyebaran konten intim non-konsensual oleh mantan pacar.
Tak hanya itu, Suparto juga menemukan foto siswa yang dimanipulasi menggunakan teknologi deepfake. “Ada anak berkata, ‘Pak, saya takut mau sekolah. Saya merasa tidak aman di internet.’ Itu menunjukkan betapa rentannya mereka,” tuturnya.
Sejumlah orang tua lain bahkan menyebut ada anak yang terpaksa putus sekolah akibat kecanduan gim daring. “Nilai sekolahnya jebol, susah konsentrasi, mau akses psikolog juga tak punya privilese,” ungkap salah satu peserta.
Gisella membenarkan bahwa paparan konten yang tidak sesuai usia, terutama tanpa pendampingan orang dewasa, meningkatkan risiko kecanduan gawai. Kondisi ini sering membuat anak sulit tidur, mudah gelisah, dan merasa harus terus mengikuti tren agar tidak tersisih dari lingkungan pertemanan.
“Kalau anaknya ketinggalan tren, dia enggak dianggap oleh teman-teman sebayanya. Ini dilema mereka,” jelasnya.

Orang Tua Terbatas, Anak Menjelajah Sendirian
Kerentanan anak di ruang digital juga dipengaruhi oleh keterbatasan pendampingan orang tua, terutama dalam keluarga pekerja dan orang tua tunggal. Hal ini tercermin dari kisah Emon (38), perempuan perantau asal Temanggung yang bekerja di Depok, sementara anaknya, Iman (bukan nama sebenarnya), tinggal bersama sang nenek.
“Saya sibuk kerja di Depok. Anak saya ‘Iman’ tinggal di Temanggung sama neneknya,” ujar Emon.
Saat diminta membuka dua aplikasi favorit anaknya, TikTok dan Roblox, Emon mengaku terganggu dengan banyaknya konten dewasa yang muncul dalam waktu singkat. Ia juga baru mengetahui TikTok memiliki batas usia minimal 13 tahun serta fitur Family Pairing untuk pengawasan orang tua.
“Saya aja enggak paham, apalagi nenek Iman,” imbuhnya.
Di Roblox, Emon bahkan menemukan iklan judi daring. “Ini bukan buat anak kecil. Tapi gimana lagi, saya kerja jauh, enggak mungkin dampingi anak terus. Saya takut dia lihat hal-hal yang enggak pantas, atau tiba-tiba jadi ikut judi online,” ujarnya, (3/12).
Kekhawatiran serupa dirasakan Kinasih (26), ibu tunggal asal Yogyakarta. Saat membuka YouTube yang sering ditonton putrinya yang berusia empat tahun, ia menemukan konten edukatif berdampingan dengan iklan dan video komersial yang tidak sesuai usia.
“Saya kira aman, tapi kadang muncul video aneh. Saya enggak bisa cek semua karena harus kerja,” katanya, (3/12).
Namun, Kinasih menyatakan mendukung pembatasan jika dibarengi alternatif yang aman. “Kalau ada aturan yang batasi, saya setuju. Asal ada gantinya biar anak tetap bisa belajar secara interaktif,” imbuhnya.
Dukungan Publik Tinggi, Regulasi Jadi Harapan
Pertanyaan tentang perlu tidaknya pembatasan media sosial bagi anak juga pernah diajukan IPSOS pada 2025 kepada 23.700 responden di 30 negara. Hasilnya, Indonesia menjadi negara dengan tingkat persetujuan tertinggi, yakni 87 persen responden mendukung pembatasan tersebut. Prancis menyusul dengan 85 persen dan Australia 79 persen.
Besarnya dukungan ini sejalan dengan tingginya paparan digital anak di Indonesia. Data Statistik Telekomunikasi Indonesia BPS (2024) mencatat 72,78 persen penduduk telah mengakses internet dan 96 persen rumah tangga memiliki ponsel pintar. Sebanyak 39,71 persen anak usia dini telah menggunakan ponsel, dan lebih dari sepertiganya mengakses internet.
Berbagai riset global turut menguatkan kekhawatiran ini. Studi longitudinal JAMA (Juni 2025) yang dilansir NPR menemukan remaja dengan kecanduan gawai memiliki risiko 2–3 kali lebih tinggi mengalami pikiran dan perilaku bunuh diri. Investigasi BBC juga menunjukkan anak perempuan lebih sering terpapar konten depresi, perundungan, dan kekerasan berbasis gender, sementara anak laki-laki cenderung disodori konten agresi dan kekerasan.

PP Tunas: Awal, Bukan Akhir
Menjawab situasi tersebut, pemerintah menerbitkan PP Tunas. Regulasi ini tidak melarang total akses internet bagi anak, tetapi mengatur tata kelola risiko berbasis usia, kewajiban high privacy default, larangan profil komersial anak, serta kewajiban fitur parental control.
Direktur Ekosistem Media Ditjen Komunikasi Publik dan Media, Farida Dewi, menegaskan PP Tunas bertujuan menjamin perlindungan anak, bukan membatasi secara kaku.
Co-Founder Magdalene, Devi Asmarani, mengingatkan bahwa regulasi ini membutuhkan kerja panjang. “Pelaksanaan PP Tunas membutuhkan kerja panjang,” ujarnya, menekankan pentingnya peran keluarga, sekolah, komunitas, dan platform digital.
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan hal serupa. “Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri,” katanya.
Dirjen Komunikasi Publik dan Media, Fifi Aleyda Yahya, menambahkan PP Tunas dirancang untuk menciptakan ruang aman, bukan membungkam ekspresi anak. “PP Tunas memberi arah baru bagi upaya perlindungan digital, tetapi pendampingan orang dewasa tetap menjadi fondasi utama,” ujarnya.
Di tingkat sekolah, Noviyanti Elizabeth menilai PP Tunas memberi dasar hukum untuk menyusun aturan internal yang lebih kuat, mulai dari pedoman penggunaan gawai hingga mekanisme pelaporan cepat. Ia menekankan pentingnya integrasi literasi digital dalam kurikulum.
Sementara itu, Halimah menekankan peran orang tua sebagai figur utama. “Salah satu strategi mengurangi kerentanan anak adalah orang tua perlu bisa menjadi influencer buat anak-anak mereka,” katanya.
Ia mengingatkan pentingnya komunikasi empatik. “Jangan langsung menghakimi apalagi membandingkan dengan kondisi kita. Dengan begitu anak merasa aman dan nyaman untuk berbagi perasaan dan bercerita,” ujarnya.
Menurut Halimah, anak juga perlu ruang bergerak di luar layar. “Anak butuh ruang bergerak di luar layar. Ruang publik ramah anak itu bagian dari perlindungan digital juga,” katanya.
“Dunia digital tidak punya tombol hapus. Anak tidak boleh masuk sendirian,” tandasnya.
PP Tunas menjadi langkah awal negara untuk membagi tanggung jawab perlindungan digital yang selama ini terlalu berat dipikul keluarga. Namun, efektivitasnya akan sangat ditentukan oleh kejelasan aturan turunan, literasi digital publik, transparansi platform, serta ketersediaan alternatif ruang belajar dan bermain yang aman bagi anak selama masa transisi dua tahun ke depan.

