TENTANGPUAN.com – Ketua Gerakan Perempuan Sulawesi Utara, Ruth Ketsia Wangkai, menyoroti masih tingginya angka pernikahan dini di wilayah Bolaang Mongondow Raya (BMR).
Menurutnya, persoalan ini tidak boleh dianggap remeh, karena menyangkut masa depan generasi muda, khususnya anak perempuan.
“Tingkat pernikahan anak di daerah Bolaang Mongondow Raya cukup tinggi. Padahal sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak yang dengan jelas melarang praktik pernikahan dini. Ini harus dicegah karena risikonya sangat besar, mulai dari kesehatan reproduksi, terhentinya pendidikan, hingga masa depan anak yang terancam,” ujar Ruth Ketsia saat ditemui di Kantor DP3A Kotamobagu, Selasa (14/10/2025).
Ia menilai, persoalan ini bukan sekadar masalah budaya atau adat semata, melainkan persoalan sosial yang harus ditangani secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Anak-anak, kata Ruth, seharusnya tumbuh dalam lingkungan yang mendukung tumbuh kembang mereka, bukan terbebani tanggung jawab orang dewasa di usia belia.
Ruth menekankan bahwa pernikahan dini sering kali mengakhiri masa belajar anak, terutama bagi perempuan, yang kemudian menghadapi risiko lebih besar dalam hal kesehatan, ekonomi, dan kekerasan berbasis gender.
Dalam banyak kasus, keputusan menikahkan anak justru diambil karena tekanan sosial dan stigma terhadap kehamilan di luar nikah.
“Sering kali alasan menikahkan anak adalah karena sudah hamil duluan. Tapi apakah itu solusi? Belum tentu. Banyak dari mereka belum saling mengenal dengan baik, belum berpikir dewasa, dan belum siap menghadapi konsekuensi menjadi orang tua. Anak mengurus anak itu justru jadi beban baru bagi keluarga,” ungkapnya.

Menurut Ruth, praktik pernikahan anak masih sering dilegalkan melalui jalur pengadilan, padahal semestinya langkah hukum itu dijadikan jalan terakhir, bukan solusi utama.
“Bagi saya, sekalipun keputusan mengabulkan permohonan pernikahan dini baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri sering kali dianggap solusi, tapi itu bukan satu-satunya jalan,” katanya lagi.
Ia menambahkan, banyak pihak belum menyadari bahwa dampak dari pernikahan dini bersifat jangka panjang.
Mulai dari risiko kesehatan reproduksi, tingginya kemungkinan stunting pada anak, hingga meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Anak yang menikah dini belum matang secara emosional, psikologis, dan biologis. Mereka masih dalam tahap mencari jati diri. Saat dipaksa menikah, mereka kehilangan hak dasar sebagai anak,” tambahnya.
Sinergi Lintas Sektor dan Peran Tokoh Agama
Ruth menegaskan bahwa upaya pencegahan pernikahan dini tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah.
Menurutnya, persoalan ini menuntut sinergi lintas sektor, yang melibatkan masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh agama, dan media massa.
“Upaya pencegahan tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah, melainkan harus melibatkan sinergi lintas sektor, termasuk masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang advokasi kemanusiaan, serta media massa,” tegasnya.
Ia menilai, media memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran publik terhadap bahaya pernikahan anak.
Pemberitaan yang konsisten dan berpihak pada anak dapat menjadi katalis perubahan sosial di masyarakat.
“Peran media sangat penting untuk mengangkat isu ini ke permukaan. Dengan adanya publikasi, masyarakat bisa lebih sadar, dan pemerintah terdorong mencari solusi. Jangan sampai kasus pernikahan anak terus terjadi karena dianggap hal yang biasa,” kata Ruth.
Selain itu, ia juga menyoroti peran besar tokoh agama, baik dari kalangan gereja maupun ulama, dalam membentuk pandangan moral masyarakat.
Menurut Ruth, ajaran agama seharusnya menjadi landasan untuk melindungi, bukan membenarkan praktik yang merugikan anak.
“Tokoh agama perlu aktif menyampaikan bahwa pernikahan anak bukanlah solusi, terutama ketika kasus kehamilan di luar nikah terjadi pada usia muda,” jelasnya.
Ruth juga menyampaikan bahwa banyak keluarga yang memilih jalan pintas karena takut malu atau takut akan pandangan masyarakat.
Padahal, menikahkan anak yang belum siap justru membuka risiko baru yang jauh lebih kompleks.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berani melawan stigma sosial yang sering kali menekan keluarga dan anak perempuan.
Menurutnya, edukasi dan pendampingan adalah kunci agar masyarakat memahami bahwa perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga kewajiban bersama.
“Pemerintah harus gencar melakukan sosialisasi dan pendampingan. Anak-anak adalah generasi penerus keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Karena itu, melindungi mereka dari pernikahan dini berarti melindungi masa depan kita bersama,” tutup Ruth.