TENTANGPUAN.com – Di balik riuh kehidupan malam di Kota Kotamobagu, kisah pilu seorang anak perempuan berusia 14 tahun mencuat ke publik. Ia diduga menjadi korban eksploitasi seksual yang kini tengah ditangani Unit Reskrim Polres Kotamobagu.
Kasus ini terungkap setelah ibu korban, SM, melaporkan kejadian tersebut ke Polres Kotamobagu pada 1 Oktober 2025, dengan nomor laporan LP/B/551/X/2025/SPKT/POLRES KOTAMOBAGU/POLDA SULUT.
Berdasarkan laporan, peristiwa memilukan itu terjadi pada Minggu dini hari, 28 September 2025, di sebuah kamar kos di Kecamatan Kotamobagu Selatan.
Dalam keterangannya kepada penyidik, korban mengaku bahwa kejadian tersebut bukan yang pertama kali dialaminya.
Seorang remaja perempuan berinisial AM (18), warga Kelurahan Mogolaing, diduga bukan hanya memperkenalkan korban kepada seorang pria yang belum diketahui identitasnya, tetapi juga menyediakan kamar kos sebagai tempat perbuatan itu terjadi.
“Sudah tiga kali,” demikian pengakuan korban kepada penyidik.
Kasi Humas Polres Kotamobagu, AKP I Dewa Gede Dwiadnyana, menyatakan bahwa penyidik akan mengusut tuntas sesuai aturan hukum yang berlaku.
“Eksploitasi anak merupakan kejahatan berat yang tidak bisa ditoleransi. Penyidik akan memproses kasus ini sesuai aturan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 76I jo Pasal 88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp200 juta.
Selain itu, polisi juga menelusuri kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain atau indikasi praktik perdagangan orang (TPPO).
Kasus ini menyoroti sisi paling rentan dari kehidupan anak perempuan di usia remaja, mudah diperdaya, terjebak, dan akhirnya menjadi korban.
Di balik proses hukum yang berjalan, ada luka batin dan trauma yang tidak terlihat. Keberanian korban untuk melapor bukan hal mudah, terlebih di tengah stigma dan rasa takut yang masih membayangi banyak anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Pemerhati perempuan dan anak menilai bahwa pemulihan korban harus menjadi prioritas utama selain penegakan hukum terhadap pelaku.
Pendampingan psikologis, perlindungan hukum, serta dukungan sosial menjadi hal mendesak agar korban dapat pulih dan tidak kembali terjebak dalam situasi serupa.
Koordinator Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KAKSBG), Emanuella G. A. Malonda menyampaikan keprihatinannya atas kasus ini. Menurutnya, kejadian di Kotamobagu menunjukkan bahwa isu perlindungan anak, khususnya anak perempuan, masih sangat rentan di Sulawesi Utara.
“Masih banyak yang perlu dibenahi. Sistem perlindungan anak sudah ada, tetapi implementasinya di lapangan sering belum menyentuh situasi nyata yang dihadapi anak-anak. Lembaga seperti UPTD PPA, LPSK, KPAI, dan Komnas Perempuan perlu memperkuat kerja sama agar benar-benar menjangkau hingga daerah-daerah,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa banyak korban anak enggan melapor karena takut disalahkan, tidak dipercaya, atau malu.
Karena itu, Emanuella mengatakan keberadaan ruang aman bagi anak untuk bercerita tanpa dihakimi sangat penting, termasuk peran komunitas dan lembaga pendamping seperti KAKSBG dalam memberikan dukungan.
Emanuella menegaskan pentingnya pendidikan seksualitas yang komprehensif untuk anak dan remaja agar mereka memahami batasan tubuh, relasi sehat, serta mengenali bentuk kekerasan dan eksploitasi.
Pemerintah juga diminta lebih serius mengawasi ruang digital, karena banyak kasus bermula dari interaksi di media sosial.
Kasus ini menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa eksploitasi anak bisa terjadi di mana saja, bahkan di lingkungan yang tampak aman sekalipun.
“Orang tua diharapkan memperkuat komunikasi dengan anak-anaknya, memahami perubahan perilaku mereka, dan tidak menutup mata jika melihat tanda-tanda yang mencurigakan,” katanya.
Anak SM di Kotamobagu mungkin hanya satu dari banyak anak yang menjadi korban eksploitasi di Indonesia. Namun, keberaniannya untuk bersuara adalah langkah penting menuju perubahan: bahwa tubuh anak bukan komoditas, dan setiap anak berhak tumbuh dengan aman serta bermartabat.