TENTANGPUAN.com – Malam itu, Sabtu (23/08/2025), di Ruang Budaya Monibi Institute, nampak seorang perempuan dalam balutan busana hitam dengan rambut panjang terurai duduk di pinggir dipan sambil berceloteh.
Ia menumpahkan segala yang membuncah dalam batin. Kata-kata yang ia ucap seolah datang dari peristiwa-peristiwa absurd.
Perempuan itu lantas turun dari dipan kemudian melangkah kian kemari sembari melontarkan kata-kata sebagai penggambaran problema yang tengah dideritanya.
Sejurus kemudian, ia hilang dari pandangan dan digantikan lima perempuan yang muncul bersamaan dalam balutan pakaian khas. Perempuan yang berdiri di ujung kiri dan kanan menggenggam bunga toba’ang (bunga atau pohon kecil yang biasa ditanam sebagai penanda batas).
Syair-syair lantas menggema seperti nyanyian tengah malam yang gelap dan dingin. Mereka menari dalam iringan tambor (alat musik perkusi tradisional) dan penggalan syair-syair tua.Perempuan berbusana hitam kembali terlihat. Ia masih pada kebiasannya: berceloteh, tertawa, menjerit, marah, dan nampak seperti ada gejala yang lahir dari kesukaran.
Sesiapa yang menyaksikan akan segera mendiagnosa perempuan ini sedang depresi atau mengalami gejala dari sebuah sakit yang entah apa.
Bersama hening yang perlahan merambat, hadir seorang lelaki dan terciptalah dialog bernas di antara keduanya.
“Aku dibisikkan dari bulu kuduk kitab suci,” ucap lelaki itu ketika si perempuan bertanya siapa sosok yang kerap mengikuti dan ada di hadapannya.
Setelah apa yang dialami si perempuan, nampaklah lelaki lain yang merupakan anggota keluarganya.
Lelaki itu datang menemui bolian (seorang perempuan pemimpin ritual motayok) dan burangin (ahli obat-obatan tradisional) untuk meminta kesediaan mereka memimpin upacara ritual pengobatan motayok.
Adegan di atas merupakan penggalan dari lakon teater bertajuk Senjakala Ritual Motayok yang disutradarai Uwin Mokodongan dan dimainkan Teater Monibi.
Pemajuan kebudayaan lewat kesenian teater
Keseluruhan pementasan teater itu, terang Uwin, adalah tentang bagaimana ritual motayok tetap ada dan terus terwarisi dari generasi ke generasi di Mongondow.
“Ini adalah kekayaan pengetahuan, filosofi, tradisi, dan kekayaan budaya yang dimiliki suku Mongondow,” terangnya.
Adapun pementasan teater tersebut merupakan bagian dari program pemajuan kebudayaan di daerah yang didukung oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVII Sulut-Go.
Uwin juga mengaku, sebenarnya tersedia potensi di Kotamobagu dan Bolaang Mongondow dalam bidang kebudayaan khususnya seni peran seperti teater, dimana tersedia sumberdaya pemain, namun masih diperlukan keberanian, kesabaran, dan semangat untuk tetap bertahan.
“Para pemain banyak yang datang, banyak juga yang pergi. Padahal bagus-bagus. Oleh sebab itu, Teater Monibi kerap kali bongkar pasang pemain,” katanya.
Ia berpesan agar para pelaku teater untuk tetap semangat dan pantang berputus asa ketika menemui berbagai kebuntuan.
“Karena semangat kebudayaan akan selalu mendapatkan pasangan sekalipun berada di jalan sunyi,” ucapnya.
Didukung berbagai pihak
Meski teater belum menjadi kesenian populer, khususnya di Kotamobagu, namun apa yang dilakukan Uwin Mokodongan dan Monibi Institute dalam mementaskan Senjakala Ritual Motayok mendapat sokongan dari berbagai pihak.
Pemeran utama dalam pentas kali ini adalah Tyo Mokoagow dan Indah Paputungan. Tyo sendiri merupakan salah satu penulis yang aktif dalam berbagai forum literasi. Sedangkan Indah merupakan representasi anak muda yang mulai menampakkan bakat luar biasa serta minat yang besar dalam kesenian dan kebudayaan kemudian bergabung dengan Teater Monibi.
Dukungan lain datang dari Erik Ampowplur, juga pemain teater di Monibi dan kini lebih dikenal sebagai seorang musisi lokal yang telah menelurkan banyak karya. Erik tampil dalam sesi break pementasan dengan membawakan lagu berjudul Akar Bara.
“Ada juga Sigidad, seorang jurnalis yang kembali menunjukan keaktifannya di Monibi Institute ketika sebelumnya komunitas ini masih bernama Rumah Pemuda Merdeka,” ucap Uwin.
Selain itu, pementasan teater Senjakala Ritual Motayok juga dihadiri Widdi Mokoginta, Staf Khusus Walikota Kotamobagu dan Arman Mokoginta, mantan Penyuluh Budaya tahun 2018.
Widdi Mokoginta yang diberi kesempatan menyampaikan sambutan mengatakan agar Teater Monibi jangan pernah berhenti berkarya dan terus mengangkat tema-tema sejarah dan kebudayaan Bolaang Mongondow.
Widdi juga menyayangkan ketika beberapa undangan khusus yang seharusnya kehadiran mereka penting dalam pementasan ini, justru tidak hadir.
“Kemungkinan mereka sedang berhalangan,” singkatnya.
Sementara itu, Uwin mengatakan, saat ini Teater Monibi terus berbenah dalam menelurkan setiap karyanya.
Penulis: Indra Umbola