TENTANGPUAN.com – Rizka (bukan nama sebenarnya), salah satu perempuan penyintas erupsi Gunung Api Ruang, kini tinggal di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Sagerat, Bitung.
Ia tak sendiri. Bersama ratusan warga lainnya, Rizka harus mengungsi setelah bencana yang mengguncang Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro) pada April 2024.
Rumahnya hancur total, hanya sedikit barang yang berhasil ia selamatkan. Kampung halamannya kini masuk zona merah dan dinyatakan tidak lagi layak huni.
Tak hanya kehilangan rumah, Rizka juga kehilangan pijakan untuk membesarkan anak-anaknya dalam rasa aman dan kepastian.
Dalam proses evakuasi, pemerintah menjanjikan relokasi warga dari dua desa di Pulau Ruang ke Desa Modisi, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. Namun, janji itu hingga kini belum juga terealisasi.
Sambil menanti kepastian relokasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjanjikan Dana Tunggu Hunian (DTH) sebesar Rp600 ribu per bulan.
Janji tersebut diperkuat oleh Gubernur Sulawesi Utara saat itu, Olly Dondokambey, dengan menambahkan DTH dari Pemerintah Provinsi dalam jumlah yang sama.
“Dari Pemerintah Provinsi kami hanya menerima dua bulan. Dari BNPB baru tiga bulan, sisanya belum diterima,” ungkap Rizka.

Dana tersebut, lanjut Rizka, awalnya dimaksudkan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun kini, terpaksa digunakan untuk membayar sewa Rusunawa. Tak hanya itu, Rizka dan warga lain juga dipaksa menandatangani surat pernyataan bersedia membayar sewa jika ingin DTH dicairkan.
“Untuk makan dan biaya sekolah anak, kami harus kerja serabutan. Ada yang jadi buruh pelabuhan, buruh pasar, panjat kelapa, sampai kerja di rumah makan. Seolah-olah kami dibiarkan begitu saja,” keluh Rizka, menggambarkan beban berlipat yang dirasakan perempuan pengungsi–harus bertahan untuk hidup sambil tetap mengurus anak dan keluarga.
Masalah yang paling mendesak saat ini adalah kebutuhan pangan. Menurut Rizka, selama 2024 saat dapur umum masih dikelola Dinas Sosial, kebutuhan makan warga masih tercukupi. Namun sejak Januari 2025, kondisinya memburuk. Gangguan kesehatan seperti gatal-gatal dan keracunan mulai muncul.
“Saya pernah makan ikan berkuah. Biasanya ikan itu mudah hancur, tapi dipanaskan sampai malam tetap keras dan rasanya asin seperti mengandung formalin,” ujarnya.
Keluhan serupa juga diungkapkan oleh Yuli Katiandagho, seorang pengungsi perempuan lainnya, yang pada Rabu, 21 Mei 2025, menyuarakan keluhan lewat media sosial dengan menandai sebuah grup publik.
Ia menyoroti buruknya kualitas makanan di Rusunawa. Selama dua hari, kata Yuli, warga hanya mendapatkan tahu dan tempe, tanpa lauk ikan.
“Iya, saya posting karena sudah tidak tahan. Biar semua tahu,” kata Yuli singkat saat dikonfirmasi Zonautara.com.
Ia menyebut penurunan kualitas makanan terjadi sejak dapur umum sepenuhnya ditangani oleh BPBD Sitaro. Ia mengaku beberapa kali menerima ikan yang tidak layak konsumsi.
“Sudah tiga kali ikan melek, dan ada warga yang kena gatal-gatal,” ungkapnya.
Bahkan menu sarapan yang dulu bervariasi, kini hanya bubur. Ia juga menyebut selama beberapa minggu warga hanya disuguhi ikan dengan menu yang sama.
“Saya sempat didatangi petugas karena unggahan saya viral, dianggap tidak menerima keadaan,” tuturnya.
Saat ini, tidak ada lagi petugas khusus di dapur umum. Warga kini harus bergantian memasak dengan bahan makanan yang disediakan oleh BPBD Sitaro.
Bagi perempuan pengungsi seperti Yuli dan Rizka, beban ini menambah daftar panjang tugas mereka sehari-hari: mengurus anak, menjaga kebersihan, mencari nafkah tambahan, dan kini juga harus memastikan makanan keluarga mereka layak dikonsumsi.
Respons Pemerintah dan Janji Evaluasi
Wakil Bupati Sitaro, Heronimus Makainas, dalam wawancara pada Senin, 19 Mei 2025, menyatakan bahwa pemerintah terus berupaya mendorong pencairan DTH.
Ia menyebut bahwa dana tersebut sudah berada di bagian keuangan BNPB dan tinggal menunggu proses pencairan.
“Waktu itu informasinya sudah di bagian keuangan. Tinggal tunggu dicairkan,” ujar Makainas.
Ia juga mengecam keras buruknya kualitas makanan dan berjanji akan mengevaluasi kondisi dapur umum.
“Harus dievaluasi. Tidak boleh pengungsi dibuat menderita. Kita akan cari tahu kenapa ini bisa terjadi,” tegasnya.
“Jika ada ASN yang terlibat, kita akan ambil tindakan tegas. Apalagi kalau sampai menyebabkan keracunan, itu tidak bisa ditoleransi,” tambahnya.
Relokasi Belum Jelas, DPRD Dinilai Abai
Hingga kini, rumah relokasi yang dijanjikan pemerintah belum juga bisa ditempati. Target penyelesaian pada akhir 2024 tidak tercapai.
Warga, termasuk para perempuan yang kini menanggung beban ganda sebagai pengungsi sekaligus kepala keluarga, terus bertahan dalam ketidakpastian.
Lebih menyakitkan, perhatian dari DPRD Sitaro dinilai sangat minim. Hampir tak ada anggota legislatif yang datang melihat langsung kondisi mereka di Rusunawa.
Kini, harapan warga pengungsi, terutama para perempuan yang paling terdampak, tertuju pada pemerintahan baru: Gubernur Sulawesi Utara Yulius Selvanus Komaling dan Wakil Gubernur Vicktor Mailangkay, serta Bupati Sitaro Chyntia Ingrid Kalangit dan Wakil Bupati Heronimus Makainas.
Peliput: Jufri Fransicho Kasumbala