TENTANGPUAN.com – Di balik wajah bersih dan tertata Kota Manado, ada tangan-tangan tangguh yang bekerja senyap sebelum fajar menyingsing.
Salah satunya adalah Lusye Pyenu (65), seorang perempuan pekerja kebersihan yang telah sepuluh tahun mendedikasikan hidupnya menyapu jalanan di kawasan Piere Tendean Boulevard, Kecamatan Sario.
Dengan tubuh yang tak lagi muda, Lusye tetap setia menyusuri trotoar dan pinggiran jalan sejak pukul dua dini hari.
Dalam usia senja, ia tetap berdiri teguh, menyapu jejak demi menjaga keindahan kota–pekerjaan yang bagi sebagian besar orang dianggap remeh, namun menjadi penopang hidup bagi keluarganya.
“Sudah sejak tahun 2015. Awalnya saya dan suami bekerja bersama. Tapi setelah suami meninggal, anak saya yang menggantikan,” ucap Lusye, matanya mengarah ke anak lelakinya yang sedang menyapu beberapa meter darinya.
Lusye bekerja setiap hari kecuali Minggu, dengan honor Rp2,5 juta per bulan. Angka yang tidak besar, namun cukup untuk menopang kebutuhan harian.
Ia mengaku tak pernah mengeluh, justru mensyukuri apa yang ia jalani.
“Kalau pemerintah suruh begini, begitu, ya kita ikut saja,” katanya pasrah namun mantap.
Di tengah risiko bekerja dini hari, termasuk menghadapi jalanan sepi dan potensi gangguan dari orang mabuk, Lusye merasa tetap aman. Ia meyakini itu karena kekuatan iman dan keyakinan yang ia pegang teguh.
“Puji Tuhan, semua karena penyertaan-Nya,” tuturnya dengan yakin.
Baginya, pekerjaan menyapu bukan hanya bentuk tanggung jawab sosial, tetapi juga sebuah rutinitas yang menjaga tubuhnya tetap bugar.
“Hitung-hitung olahraga juga,” ujarnya sambil tersenyum.
Lusye adalah satu dari sekian banyak perempuan pekerja informal yang menopang wajah kota dan kenyamanan publik, namun kerap luput dari perhatian.
Di balik sapu dan seragam kerjanya, ada narasi ketangguhan seorang ibu, orang tua tunggal, dan seorang perempuan yang memilih bertahan dengan hormat di tengah kerasnya hidup.
Peliput: Sajidin Kandoli