Jalsah Salanah 2025 Jadi Ruang Menguatkan Hak Perempuan Ahmadiyah di Tengah Momentum 16 HAKtP

Suasana Jalsah Salanah JAI di Kotamobagu, (Foto: Neno Karlina).

TENTANGPUAN.com – Pelaksanaan Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tahun 2025 bertepatan dengan momentum internasional 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP).

Kegiatan nasional tahunan JAI yang berlangsung selama 3 hari ini, menjadi ruang penting bagi perempuan Ahmadiyah untuk menyuarakan hak-hak mereka di tengah kerentanan berlapis yang masih dialami komunitas minoritas tersebut.

Sejumlah perwakilan komunitas lintas iman yang turut menghadiri Jalsah Salanah JAI di Kota Kotamobagu, (Foto: Koleksi JAI).

Jalsah Salanah bukan hanya wadah refleksi spiritual, tetapi juga ruang memperteguh komitmen perlindungan perempuan, khususnya mereka yang menghadapi diskriminasi berbasis gender dan keyakinan.

Nur Hasanah dari Swara Parangpuan menilai bahwa berbarengannya Jalsah Salanah dengan 16 HAKtP merupakan momentum strategis bagi negara dan masyarakat untuk melihat situasi perempuan Ahmadiyah secara lebih jernih.

Nur Hasanah saat memberi sambutan pada Jalsah Salanah JAI di Kotamobagu, (Foto: Koleksi pribadi).

“Perempuan Ahmadiyah hidup dalam tekanan berlapis–sebagai perempuan dan sebagai bagian dari komunitas minoritas yang sering distigmatisasi. Momentum 16 HAKtP harus menjadi pengingat bahwa negara memiliki kewajiban HAM untuk melindungi mereka dari kekerasan, intimidasi, dan diskriminasi apa pun bentuknya,” ujar Nur Hasanah, Sabtu (6/11/2025), saat menghadiri Jalsah Salanah JAI di Kotamobagu.

Ia menegaskan bahwa perlindungan tersebut sejalan dengan mandat UU No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi CEDAW, yang mewajibkan negara menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk perempuan dari kelompok minoritas agama.

Selain itu, Nur Hasanah mengingatkan bahwa UUD 1945 Pasal 28D dan 28E, serta UU No. 39/1999 tentang HAM, menjamin kebebasan beragama dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif bagi setiap warga negara.

Neno Karlina, (Foto: Iswan Sual).

Sementara itu, Neno Karlina, Redaktur Pelaksana Tentangpuan.com yang turut hadir, mengatakan bahwa, Jalsah Salanah memiliki potensi besar untuk memperkuat representasi perempuan Ahmadiyah dalam ruang publik, termasuk melalui pemberitaan yang lebih empatik dan berbasis hak.

“Saat Jalsah, perempuan Ahmadiyah terlibat aktif dalam diskusi, pelayanan, dan kepemimpinan komunitas. Ini memperlihatkan kapasitas mereka yang selama ini kurang terlihat,” kata Neno.

Menurutnya, bertepatan dengan kampanye 16 HAKtP, media memiliki tanggung jawab untuk memastikan suara perempuan Ahmadiyah tidak hanya terdengar dalam kegiatan internal komunitas, tetapi juga dalam percakapan nasional mengenai hak perempuan dan isu-isu kesetaraan.

Ketua Lajna Imaillah JAI Kotamobagu, Rahma Wahyuna Mutu, (Foto: Koleksi JAI).

Pernyataan para pegiat ini sejalan dengan ungkapan Ketua Lajna Imaillah JAI Kotamobagu, Rahma Wahyuna Mutu, yang menegaskan bahwa berlangsungnya Jalsah tidak lepas dari keterlibatan penuh perempuan Ahmadiyah dalam berbagai aspek penyelenggaraan.

“Bukan cuma soal konsumsi, tapi juga kami terlibat dalam mengurus izin acara. Setelah melakukan pendekatan kultural, semuanya berjalan dengan baik,” ujarnya singkat.

Peringatan 16 HAKtP tahun ini membawa fokus baru pada kekerasan berbasis keyakinan yang berdampak langsung pada perempuan.

Riset Setara Institute (2023) menunjukkan bahwa komunitas Ahmadiyah masih masuk dalam kategori kelompok paling rentan mengalami pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia–sebuah situasi yang berdampak lebih berat bagi perempuan dan anak.

Temuan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip dalam Peraturan Presiden No. 53/2021 tentang RANHAM 2021–2025, yang menempatkan kelompok minoritas dan perempuan rentan sebagai prioritas perlindungan.

Jalsah Salanah, yang dihadiri berbagai komunitas lintas agama dan organisasi masyarakat, menjadi pengingat bahwa keberagaman adalah kekuatan.

Di tengah kampanye 16 HAKtP, suara perempuan Ahmadiyah menguat sebagai panggilan moral bagi negara dan publik: bahwa tidak seorang pun boleh dikecualikan dari perlindungan hak asasi, termasuk mereka yang hidup di persimpangan kerentanan gender dan keyakinan.