Kekerasan terhadap Perempuan di Sulut Masih Tinggi, 16 HAKtP 2025 Dorong Aksi Konkret “Baku Jaga”

Suasana diskusi 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) Tahun 2025. (Foto: Nurhasana).

TENTANGPUAN.com – Manado kembali menjadi ruang penting bagi gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui penyelenggaraan diskusi 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) Tahun 2025.

Kegiatan ini digelar pada Kamis, (4/12/2025) di Gedung LP2M IAIN Manado dan terlaksana berkat kerja sama sejumlah organisasi dan komunitas, antara lain Gusdurians Manado, Swara Parangpuan Sulawesi Utara, LP2M IAIN Manado, APIK, Dara Wanua serta Jaringan Swara Nusantara (JSN).

Dukungan kolaboratif ini menegaskan bahwa upaya mengembalikan ruang aman bagi perempuan adalah kerja bersama lintas komunitas, agama, dan institusi pendidikan.

Mengangkat tema lokal “Kita Semua Punya Andil Kembalikan Ruang Aman; Baku Jaga Bukang Baku Kase Jaha”, kegiatan ini menyuarakan filosofi baku jaga—sebuah nilai sosial khas Sulawesi Utara yang menekankan pentingnya saling melindungi, bukan saling menyakiti. Tema ini juga menjadi bentuk kritik terhadap praktik “baku kaseh bisae” atau pembenaran kekerasan berbasis budaya yang masih kerap terjadi.

Secara global, kampanye 16 HAKTP tahun ini mengangkat tema “UNiTE to End Digital Violence against All”, menyoroti meningkatnya kekerasan berbasis gender di ruang digital. Sementara tema nasional Indonesia tahun 2025, “Kembalikan Ruang Aman untuk Semua Perempuan”, menegaskan urgensi merebut kembali ruang-ruang yang telah dirampas kekerasan fisik, seksual, digital, ekonomi, dan bahkan kekerasan berbasis lingkungan.

Data nasional menunjukkan situasi yang semakin mengkhawatirkan. CATAHU Komnas Perempuan 2024 mencatat 330.097 kasus kekerasan, naik 14,17 persen dari tahun sebelumnya. Hingga Agustus 2025, terdapat 17.355 kasus, dengan 80,6 persen korbannya adalah perempuan. Bahkan, hanya dalam 17 hari pada Juli 2025, terdapat penambahan 2.000 kasus kekerasan fisik. Angka-angka ini menggambarkan urgensi kolaborasi untuk memperkuat perlindungan perempuan.

Sorotan Kekerasan Berbasis Gender di Manado dan Sulawesi Utara

Dalam diskusi, para narasumber —di antaranya perwakilan Swara Parangpuan Sulut, Ketua PSGA IAIN Manado, Jaringan Swara Nusantara, dan Koordinator Gusdurian Manado— memetakan sejumlah kasus besar yang menyingkap keterkaitan antara kekerasan gender, konflik agraria, ekonomi, dan lingkungan di Sulawesi Utara.

Kasus penggusuran Kalasey Dua (2022–2025), misalnya, menjadi contoh nyata bagaimana perempuan menjadi korban kekerasan fisik dan seksual saat lahan mereka direbut. Hingga kini, banyak perempuan petani masih hidup dalam trauma dan kerentanan ekonomi.

Konflik tambang emas Sangihe juga menunjukkan bagaimana tekanan ekonomi dan eksploitasi lingkungan memicu kekerasan domestik maupun kekerasan terhadap aktivis perempuan. Komnas Perempuan bahkan mencatat indikasi femisida di wilayah lingkar tambang, sejalan dengan 290 kasus femisida nasional pada 2024.

Sementara itu, proyek reklamasi pantai Boulevard Manado Utara sejak 2013 telah menghilangkan ruang aman perempuan nelayan di kawasan pesisir Sario. Selain kekerasan dalam aksi penolakan, perempuan pesisir kini menghadapi kerentanan ekonomi, kriminalisasi, dan perubahan ekologis yang mengganggu kesejahteraan keluarga.

Para pemantik juga menekankan pentingnya melihat kekerasan berbasis gender melalui perspektif interseksional. Pada 2024 tercatat 3.681 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, mulai dari kekerasan seksual hingga perkawinan anak. Kerentanan ini semakin parah ketika berkaitan dengan kemiskinan struktural, norma budaya, dan kerusakan lingkungan seperti yang terjadi di Kalasey dan kawasan pesisir Manado.

Kolaborasi yang Memperkuat Ruang Aman

Diskusi yang dihadiri 20–25 peserta dari berbagai komunitas ini berlangsung selama sekitar 90 menit dengan suasana yang terbuka dan aman.

Para narasumber mengajak peserta memaknai kembali prinsip “baku jaga” sebagai dasar kolektif untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan, serta menolak praktik-praktik yang menutupi atau membenarkan kekerasan demi harmoni semu.

Di akhir kegiatan, peserta menyusun poin-poin rekomendasi aksi konkret yang akan dirangkum dalam laporan resmi, mencakup penguatan advokasi kebijakan, peningkatan literasi publik, dan jejaring perlindungan terhadap korban.

Dengan kerja sama lintas organisasi—Gusdurians Manado, Swara Parangpuan, LP2M IAIN Manado, APIK, dan Jaringan Swara Nusantara—kegiatan ini menjadi bukti bahwa gerakan melawan kekerasan terhadap perempuan hanya bisa berjalan kuat bila dilakukan bersama. Harapannya, momentum 16 HAKTP 2025 dapat memperkuat solidaritas “baku jaga” di Manado dan Sulawesi Utara, menjadikan ruang hidup perempuan dan anak lebih aman dan berkeadilan.