Saat Tidur Menjadi Tanda Kesehatan Bukan Kemalasan

Grafis: Non

TENTANGPUAN.com – Tidur tak lagi dipandang sebagai jeda dari produktivitas, melainkan bagian penting dari proses menjaga keseimbangan tubuh dan pikiran. Kesadaran baru ini menandai perubahan besar dalam cara masyarakat memandang istirahat—bukan lagi pelengkap, tapi pilar utama kesehatan.

Selama bertahun-tahun, budaya kerja kita menjunjung tinggi kesibukan. Begadang demi pekerjaan dianggap bukti dedikasi, sementara tidur cukup sering disalahartikan sebagai bentuk kemalasan. Kini, pandangan itu mulai bergeser. Banyak orang mulai menyadari bahwa tubuh yang terus dipaksa bekerja tanpa pemulihan justru akan kehilangan produktivitasnya dalam jangka panjang.

Dari Sleep Hygiene hingga Rest Policy, Tidur Kini Dianggap Sebagai Kebutuhan Pokok

Tren sleep hygiene—atau kebersihan tidur—mulai populer di kalangan masyarakat urban. Istilah ini mengacu pada kebiasaan menciptakan suasana dan rutinitas tidur yang menenangkan: menjauhkan ponsel satu jam sebelum tidur, menggunakan pencahayaan lembut, mandi air hangat, hingga memutar musik relaksasi. Semua itu dilakukan agar tubuh memiliki ritme tidur alami yang lebih stabil.

Teknologi juga turut mengambil peran. Kini, banyak orang menggunakan sleep tracker atau smartwatch untuk memantau kualitas tidur mereka. Alat-alat ini dapat mencatat durasi tidur, fase tidur nyenyak, bahkan tingkat stres sebelum tidur. Beberapa produk seperti smart mattress bahkan bisa menyesuaikan suhu dan posisi agar pengguna lebih cepat terlelap.

Kesadaran akan pentingnya tidur ini tak datang tanpa alasan. Riset global dari Sleep Foundation tahun 2023 menunjukkan bahwa 62 persen orang dewasa di dunia mengalami gangguan tidur akibat stres dan paparan gawai di malam hari. Di Indonesia, survei oleh NielsenIQ tahun yang sama mencatat bahwa 48 persen pekerja urban mengaku tidur kurang dari enam jam per malam—angka yang tergolong mengkhawatirkan.

Kondisi ini berdampak langsung pada kesehatan fisik dan mental. Kurang tidur berkontribusi terhadap peningkatan risiko obesitas, hipertensi, gangguan metabolik, dan penurunan fungsi kognitif. Lebih dari itu, tidur yang terganggu juga berhubungan dengan meningkatnya kecemasan dan depresi. Tidur yang buruk bukan sekadar soal rasa lelah, tapi indikator gangguan keseimbangan hidup.

Perusahaan mulai menyadari hal ini dan berusaha memperbaikinya melalui kebijakan baru. Rest policy atau kebijakan istirahat kini mulai dimasukkan dalam program kesejahteraan karyawan. Beberapa perusahaan besar di Asia bahkan mulai menerapkan jam kerja fleksibel dan ruang tidur siang (nap room) bagi pegawai yang membutuhkan pemulihan energi di tengah hari kerja.

Pandemi COVID-19 juga mempercepat perubahan ini. Selama masa kerja dari rumah, banyak orang menyadari bahwa ritme tubuh mereka berubah drastis. Gangguan tidur meningkat karena stres, ketidakpastian, dan paparan layar yang berlebihan. Kini, banyak yang mencoba membangun ulang rutinitas malam dengan lebih sadar—tidur lebih awal, menurunkan intensitas cahaya, dan membatasi waktu daring setelah jam 9 malam.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa tantangan terbesar dalam menjaga kualitas tidur berasal dari budaya “glorifikasi sibuk”. Masyarakat modern masih sering menilai nilai diri berdasarkan produktivitas dan pencapaian. Ungkapan seperti “tidur nanti saja” atau “kerja dulu, tidur belakangan” masih menjadi kebanggaan bagi sebagian orang, seolah kelelahan adalah tanda keberhasilan.

Padahal, riset dari Universitas Indonesia tahun 2022 menemukan bahwa individu dengan waktu tidur cukup (7–8 jam per malam) memiliki tingkat fokus dan kepuasan kerja 35 persen lebih tinggi dibanding mereka yang tidur kurang dari 6 jam. Temuan ini memperkuat pandangan bahwa tidur adalah bagian dari performa, bukan lawannya.

Pemerintah juga telah menaruh perhatian terhadap pentingnya istirahat dalam konteks kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Standar Teknis Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama mencantumkan pentingnya promosi perilaku tidur sehat sebagai bagian dari upaya pencegahan gangguan mental dan fisik.

Regulasi ini menjadi dasar bagi tenaga medis untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya waktu istirahat yang cukup.

Sayangnya, implementasi di lapangan masih terbatas. Edukasi tentang tidur sehat jarang masuk dalam program kesehatan masyarakat. Fokus kampanye publik masih berkutat pada gizi dan aktivitas fisik, sementara tidur—pilar ketiga kesehatan—sering kali diabaikan. Akibatnya, banyak orang mengetahui pentingnya tidur, tapi belum tahu bagaimana cara tidur dengan benar.

Tren sleep awareness yang kini berkembang di media sosial sebenarnya bisa menjadi pintu masuk untuk perubahan besar. Banyak influencer dan praktisi kesehatan mulai membagikan tips tidur sehat, dari cara mengatur cahaya kamar hingga pentingnya tidur dalam gelap total untuk memicu hormon melatonin. Kesadaran kolektif ini sedikit demi sedikit mengubah cara orang memandang istirahat.

Namun, tidur berkualitas bukan hanya soal kebiasaan malam hari, tapi juga tentang pola hidup secara keseluruhan. Stres yang tidak diatasi, asupan kafein berlebih, dan kebiasaan bekerja hingga larut malam semuanya mempengaruhi kualitas tidur. Karena itu, perbaikan tidur juga memerlukan perubahan dalam manajemen waktu dan pengelolaan emosi.

Beberapa ahli bahkan menyebut tidur sebagai bentuk meditasi alami. Saat tidur, tubuh melakukan regenerasi sel dan otak memproses emosi yang tertunda. Dengan tidur yang cukup, seseorang dapat memulai hari dengan pikiran jernih dan emosi lebih stabil. Dalam konteks ini, tidur bukan hanya kebutuhan biologis, tetapi juga terapi alami untuk jiwa.

Kesadaran ini perlahan menumbuhkan budaya baru: slow living. Orang mulai menurunkan ritme hidup, menghargai waktu diam, dan menempatkan tidur sebagai bagian dari kebahagiaan sederhana. Bagi sebagian, tidur yang cukup kini menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang menuntut kecepatan tanpa henti.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, ke depan tidur bisa menjadi sektor industri baru yang lebih serius. Dari desain kasur ergonomis hingga aplikasi pemantau tidur berbasis kecerdasan buatan, semuanya bergerak menuju satu tujuan: membantu manusia tidur dengan lebih baik. Namun, di balik semua kemajuan itu, pesan dasarnya tetap sama—tidur adalah hak dasar tubuh yang tak bisa digantikan.

Tidur dan pemulihan kini bukan lagi simbol kemalasan, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri. Dalam dunia yang terus bergerak tanpa henti, berhenti sejenak untuk tidur bisa menjadi tindakan paling berani dan paling menyembuhkan. Karena pada akhirnya, kesehatan sejati bukan soal seberapa banyak kita bergerak, tapi seberapa baik kita memberi waktu bagi tubuh untuk beristirahat.