TENTANGPUAN.com – Tubuh yang sehat sering dipuja sebagai tanda kesejahteraan, padahal tanpa kestabilan mental, semua itu bisa runtuh dalam sekejap. Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak orang menyadari bahwa kesehatan mental adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup yang seimbang. Kesadaran ini tumbuh seiring meningkatnya tekanan hidup di era digital yang serba cepat, di mana batas antara pekerjaan, hubungan sosial, dan waktu pribadi makin kabur.
Konsep self-care kini tak lagi dianggap sebagai bentuk kemewahan, melainkan kebutuhan dasar. Orang mulai menyediakan waktu untuk beristirahat, bermeditasi, menulis jurnal, atau sekadar berhenti sejenak dari notifikasi yang tiada henti. Praktik sederhana seperti menarik napas dalam, berjalan tanpa ponsel, atau membuat catatan rasa syukur menjadi bagian dari rutinitas baru banyak orang.
Fenomena ini juga didorong oleh tumbuhnya aplikasi kesehatan mental. Aplikasi meditasi seperti Headspace, Calm, atau versi lokal seperti Riliv menawarkan panduan untuk mengatur emosi dan mengelola stres. Platform terapi daring pun semakin populer, memungkinkan seseorang untuk berkonsultasi dengan psikolog dari mana saja. Dunia digital yang dulu dianggap sebagai sumber tekanan kini juga mulai dimanfaatkan sebagai sarana pemulihan.
Namun, kesadaran ini muncul di tengah tantangan yang besar. Tekanan ekonomi, beban kerja yang berat, dan ekspektasi sosial terus menjadi penyumbang utama gangguan mental. Banyak orang muda yang menghadapi perasaan gagal, burnout, hingga kehilangan arah, bahkan ketika mereka tampak baik-baik saja secara fisik dan sosial. Media sosial memperparah kondisi ini dengan budaya perbandingan tanpa akhir.
Kita hidup di masa di mana orang dapat menampilkan “bahagia” di layar, tapi menyimpan kecemasan yang dalam di balik layar. Fenomena performance happiness—tampil bahagia agar terlihat sukses—menjadi salah satu penyebab meningkatnya stres dan rasa terasing di kalangan generasi muda. Di sisi lain, keberanian untuk bicara soal kecemasan dan depresi kini mulai menandai perubahan yang lebih positif.
Komunitas-komunitas dukungan seperti Anxiety Support Group Indonesia dan Komunitas Peduli Kesehatan Mental bermunculan, membuka ruang aman bagi siapa pun untuk berbagi pengalaman tanpa stigma. Pembicaraan tentang terapi dan kesehatan mental mulai dinormalisasi di media sosial. Tagar seperti #HealingJourney dan #MentalHealthAwareness bukan lagi simbol kelemahan, melainkan tanda kekuatan dan keberanian untuk sembuh.
Meski begitu, akses terhadap layanan psikologis di Indonesia masih jauh dari ideal. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2023, hanya sekitar 9 persen masyarakat yang mengalami gangguan mental emosional pernah mendapatkan layanan profesional. Sebagian besar lainnya memilih diam, atau hanya mencari pertolongan dari orang terdekat karena biaya terapi dianggap mahal dan tenaga profesional masih minim di daerah.
Studi dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tahun 2022 menunjukkan bahwa 64 persen responden di luar Jawa mengalami kesulitan mengakses layanan psikologis karena jarak dan biaya. Sementara itu, 72 persen dari mereka mengaku menggunakan media sosial untuk mencari informasi terkait kesehatan mental. Ini menunjukkan bahwa ruang digital kini menjadi tempat belajar sekaligus tempat bertahan bagi banyak orang yang belum bisa menjangkau layanan profesional.
Pemerintah sebenarnya telah berupaya merespons kondisi ini. Salah satu payung kebijakan yang menjadi dasar adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 86 Tahun 2019 tentang Kesehatan Jiwa, yang menegaskan bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian dari pelayanan kesehatan dasar yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah. Regulasi ini menekankan pentingnya promosi kesehatan jiwa, pencegahan gangguan, hingga rehabilitasi bagi penderita.
Namun, dalam praktiknya, regulasi tersebut masih menghadapi tantangan di lapangan. Di banyak daerah, layanan psikologis masih belum terintegrasi ke puskesmas atau rumah sakit umum. Akibatnya, masyarakat yang ingin mencari bantuan sering kali harus ke kota besar atau membayar layanan privat yang biayanya tidak sedikit.
Kesadaran publik terhadap pentingnya keseimbangan emosional menjadi lebih kuat pascapandemi COVID-19. Periode isolasi sosial dan ketidakpastian ekonomi memperlihatkan betapa rapuhnya kesehatan mental banyak orang. Kini, banyak perusahaan mulai menyediakan employee assistance program (EAP), yakni layanan konseling bagi karyawan sebagai bentuk kepedulian terhadap kesejahteraan psikologis.
Selain itu, konsep digital detox menjadi gerakan baru yang digandrungi banyak kalangan. Orang mulai membatasi waktu penggunaan ponsel, menonaktifkan notifikasi, atau mengambil “libur media sosial” selama beberapa hari untuk menenangkan pikiran. Kesadaran ini muncul dari kelelahan kolektif akibat arus informasi yang terus-menerus menuntut perhatian.
Generasi muda, terutama Gen Z, menjadi penggerak utama dalam membentuk budaya baru tentang kesehatan mental. Mereka terbuka membicarakan kecemasan, depresi, bahkan terapi di ruang publik. Transparansi ini membantu mematahkan stigma bahwa berbicara tentang mental illness adalah tanda kelemahan. Justru sebaliknya, kerentanan kini dianggap bagian dari keberanian.
Namun, kesadaran ini perlu ditopang oleh sistem yang inklusif. Akses terhadap psikolog, layanan konseling, dan edukasi mental health harus diperluas hingga ke tingkat desa. Tenaga kesehatan jiwa perlu diperbanyak, dan literasi publik harus diperkuat agar masyarakat bisa mengenali gejala gangguan mental sejak dini.
Dalam konteks sosial, keseimbangan mental juga erat kaitannya dengan lingkungan sekitar. Dukungan keluarga, tempat kerja yang manusiawi, serta komunitas yang empatik bisa menjadi benteng pertama bagi seseorang yang sedang berjuang. Tanpa dukungan sosial, semua rutinitas self-care bisa terasa hampa.
Keseimbangan emosional tidak berarti bebas dari stres, tetapi kemampuan untuk berdamai dengan tekanan. Meditasi, journaling, atau sekadar tidur cukup bukan solusi ajaib, melainkan bagian dari proses panjang mengenal diri sendiri. Setiap orang memiliki cara berbeda untuk menemukan ketenangan, dan yang terpenting adalah memberi ruang bagi diri untuk tidak selalu kuat.
Di masa depan, kesehatan mental akan menjadi indikator baru dari kesejahteraan hidup. Ia bukan sekadar urusan pribadi, tapi isu sosial yang perlu dukungan kebijakan dan empati kolektif. Karena pada akhirnya, tubuh yang sehat tanpa jiwa yang tenang hanyalah rumah kosong yang tampak utuh dari luar, tapi retak di dalam.
Keseimbangan mental adalah tentang keberanian untuk berhenti sejenak, mendengarkan diri sendiri, dan menyadari bahwa istirahat bukanlah kemunduran. Ia adalah bentuk perawatan paling manusiawi yang bisa kita berikan kepada diri di tengah dunia yang tak pernah berhenti bergerak.

