Buku Catatan Pogogutat di Motoboi Kecil Kotamobagu Jadi Penjaga Ingatan Sosial Warga

/
Buku catatan pogogutat RT 05, Kelurahan Motoboi Kecil, (Foto: Tri Deyna Cahyani).

TENTANGPUAN.com – Salah satu tradisi unik masyarakat Mongondow yang masih lestari hingga kini adalah pogogutat. Tradisi turun-temurun dalam hal saling membantu ini tetap dijalankan di Kelurahan Motoboi Kecil, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Kotamobagu.

Keberadaannya dapat dilacak melalui buku catatan pogogutat yang hingga hari ini masih disimpan rapi. Buku itu mencatat semua aktivitas pogagutat sejak tahun 1975.

Meski kertasnya telah menguning dan sampulnya mulai rapuh, buku tersebut tetap menjadi rujukan warga Motoboi Kecil, khususnya di RT 05, baik saat ada peristiwa duka maupun pesta pernikahan.

Dari catatan itulah, warga dapat saling membalas mengembalikan apa yang sudah pernah diterima ataupun memberikan pogogutat, sebagai bentuk bantuan sukarela yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka selama puluhan tahun.

Sila Gondo Ololah, isteri mendiang mantan Ketua RT 05, RW 03, Lingkungan 02, Kelurahan Motoboi Kecil menceritakan bahwa almarhum suaminya, Arman Paputungan, meneruskan tradisi mencatat pemberian bantuan sukarela tersebut dari Ketua RT sebelumnya.

Catatan itu kemudian disimpan oleh setiap Ketua RT yang menjabat selanjutnya. Selain itu, ia juga selalu mengajak warga untuk saling membantu.

Menurutnya, tradisi ini menjadi perekat hubungan sosial antarwarga.

“Dulu, setiap ada duka maupun hajatan, kami beramai-ramai datang sambil membawa pogogutat berupa beras, minyak tanah, ikan atau ayam, telur, kelapa, sayur-mayur, hingga uang lima ratus pera (rupiah). Tujuannya untuk meringankan beban keluarga yang punya hajat,” ungkapnya.

Catatan pogogut warga masyarakat RT 05,Kelurahan Motoboi Kecil pada tahun 1975 yang masih bisa dilihat, (Foto: Try Deyna Cahyani).

Hal serupa diungkapkan Sri Murniati, mantan warga RT 05, Kelurahan Motoboi Kecil yang kini tinggal di RT 10. Ia mengaku merasakan eratnya kekeluargaan yang terjalin bersama sosok pemimpin seperti almarhum Arman Paputungan.

“Kami mengenalnya dengan sebutan Tete Arin. Setiap ada hajatan, baik duka maupun pernikahan, almarhum selalu mengajak kami untuk saling membantu melalui tradisi pogogutat ini. Sebelumnya saya merupakan warga Desa Mopuya, Dumoga, yang kemudian pindah ke Motoboi Kecil. Pogogutat ini saya rasakan sejak awal menikah hingga 22 tahun berumah tangga. Waktu itu, saya masih tergolong anak-anak,” ungkapnya.

Budayawan Mongondow, Chairun Mokoginta, menjelaskan bahwa pogogutat memiliki makna mendalam. Secara etimologis, kata ini berasal dari utat yang berarti saudara. Setelah mendapat awalan “g” menjadi gutat, artinya membantu. Biasanya dalam bentuk barang atau benda. Kata gutat juga digunakan untuk menyebut saudara secara kolektif.

Kemudian, dengan tambahan awalan pogo yang berarti musim, waktu, atau saat, terbentuklah kata pogogutat, yang berarti waktu atau saat memberikan bantuan kepada sesama dalam bentuk barang atau benda.

“Makna filosofis pogogutat adalah jalinan persaudaraan etnis Mongondow yang merujuk pada tradisi mo doduluan, atau saling membantu, demi memperkuat persatuan komunal,” ujar Chairun saat dihubungi Senin, (15/8/2025).

Ia menambahkan, hampir setiap komunitas etnis Mongondow memiliki kebiasaan mencatat pogogutat. Namun, pencatatan itu umumnya dilakukan secara pribadi, bukan oleh pemerintah desa.

Sementara itu, Plt Lurah Motoboi Kecil, Imran Lobangon, mengemukakan kekagumannya soal catatan sejarah budaya pogogutat di RT 5 Kelurahan Motoboi Kecil saat ditanyai media ini, Selasa,(16/9/2025).

Ia mengatakan bahwa tradisi ini memang sudah berjalan sejak lama, tetapi ia sendiri baru tahu bahwa ada buku catatan pogogutat yang masih tersimpan sejak 1975 di RT 05 Kelurahan Motoboi Kecil.

“Saya sebagai warga Motoboi Kecil yang lahir dan besar di sini baru mengetahuinya. Alhamdulillah, arsip ini masih ada dan sangat langka. Saya berharap bisa terus dijaga, dipelihara, serta ditindaklanjuti oleh pihak atau dinas terkait agar sejarah ini tidak hilang,” ujar Imran, Selasa, (16/9/2025).

Ia menuturkan, informasi ini akan segera dikoordinasikan dengan lembaga adat, LPM, RT, RW, serta perangkat kelurahan agar bisa mendapatkan masukan yang lebih produktif.

Menurutnya, tradisi pogogutat memang sudah berjalan sejak lama, tetapi catatan pogogutat dari tahun 1975 ini adalah sesuatu yang istimewa.

“Peristiwa ini baru saya ketahui, dan menurut saya sangat autentik,” tambahnya.

Bagi masyarakat Mongondow, tradisi ini bukan sekadar ritual sosial, tetapi juga sarana merawat memori kolektif sekaligus menjaga nilai gotong royong yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.