Fenomena Remaja Kotamobagu Nekat Mendaki Gunung Tanpa Persiapan, Imbas Tren Media Sosial?

llustrasi remaja mendaki tanpa pendampingan, (Foto: Neno Karlina).

TENTANGPUAN.com – Putra (bukan nama sebenarnya), remaja 17 tahun, bersama tujuh temannya terlihat berada di puncak Gunung Ambang pada Jumat, 5 September 2025. Mereka mengaku sudah beberapa kali melakukan pendakian meski tanpa pendampingan orang dewasa.

Putra yang masih duduk di bangku salah satu SMA di Kotamobagu mengatakan, pendakian itu murni atas keinginan sendiri. Kali ini, ia dan rombongannya bahkan tidak membawa logistik. “Hanya snack ringan, yang lain tidak ada,” ujar Putra.

Gunung Ambang dengan ketinggian 1.795 mdpl memang sudah sering mereka kunjungi. Karena merasa mengenal medan, mereka nekat untuk terus mendaki.

Tak hanya Putra, temannya Bagas (bukan nama sebenarnya) juga mengaku sering membuat alasan ada kegiatan sekolah demi mendapat izin dari orang tua. Menurut Bagas, mereka bahkan pernah secara mandiri mendaki Gunung Klabat setinggi 1.995 mdpl di Minahasa Utara. Aktifitas ini sering ia bagikan di laman akun media sosialnya.

Sementara itu, Firman, guru Bagas dan Putra, mengaku tidak mengetahui aktivitas pendakian yang dilakukan para siswanya. Ia menegaskan, sekolah tempat mereka belajar tidak memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang berkaitan langsung dengan pendakian, seperti Sispala.

“Kebetulan saya Pembina Pramuka, jadi saya sering mengingatkan anak-anak untuk segera pulang jika kegiatan perkemahan sudah selesai,” jelasnya, Senin (8/9/2025).

Firman menambahkan akan segera mencari tahu siswa-siswa yang kerap melakukan pendakian, terutama jika dilakukan pada jam sekolah. Ia juga berjanji akan membicarakan hal ini dengan kepala sekolah agar siswa diingatkan untuk tidak melakukan pendakian mandiri tanpa pendampingan.

Instruktur Katalun Jungle School, Suwandri Lariwu, (Foto: Dokumen Pribadi).

Fenomena meningkatnya anak-anak atau siswa yang melakukan pendakian mandiri tanpa pengetahuan dasar manajemen pendakian mendapat sorotan. Suhandri “Bios” Lariwu, Instruktur Katalun Jungle School (KJS), menilai media sosial menjadi salah satu faktor pendorong tren ini.

“Menurut saya, fenomena ini meningkat tak lain karena peran media sosial. Banyak anak-anak atau siswa hanya melihat postingan tentang keindahan sebuah pendakian, seperti pemandangan, puncak, kabut, malam berbintang, dan lain-lain. Konten keindahan sebuah pendakian lebih viral dibandingkan konten persiapan pendakian, sehingga anak-anak atau siswa ini menganggap bahwa mendaki itu mudah dan gampang,” kata Bios.

Ia mengingatkan, ada dua faktor bahaya saat berkegiatan di alam bebas seperti gunung, laut, sungai, tebing, maupun pantai. Pertama adalah bahaya subjektif atau faktor mengundang bahaya. “Bahaya subjektif atau mengundang bahaya merupakan potensi bahaya yang berada di bawah kendali kita, atau dengan kata lain seharusnya bisa kita kendalikan,” jelasnya.

Contoh bahaya subjektif antara lain salah memilih alat, tidak menguasai perlengkapan dengan baik, salah hitung logistik, tidak membawa peta atau kompas, hingga tidak bisa melakukan pertolongan pertama. Sementara bahaya objektif, lanjutnya, adalah potensi bahaya yang berada di luar kendali manusia dan sulit diprediksi, seperti badai, banjir, longsor, atau pohon tumbang.

“Semakin subjektif suatu bahaya, seharusnya semakin dapat diperkirakan terjadinya dan dapat dihindari. Sebaliknya semakin objektif suatu bahaya, maka akan semakin sukar dihindarkan,” ujar Bios.

Terkait peran sekolah, orang tua, dan pemerintah, ia menilai masih belum maksimal. “Dari sisi sekolah biasanya edukasi dan pengawasannya dilakukan jika sekolah itu ada ekskul pecinta alam atau pramuka, tapi kebanyakan sekolah malah tidak ada ekskul seperti itu. Dari sisi orang tua, edukasi dan pengawasan juga tidak akan maksimal jika orang tuanya bukan pegiat alam bebas, karena mereka tidak tahu atau merasakan bagaimana mempersiapkan segala sesuatu saat mendaki gunung,” paparnya.

Bios menambahkan, pemerintah seharusnya hadir melalui regulasi yang ketat. “Saya rasa harus ada regulasi pendakian yang ketat. Misalnya jika di bawah 17 tahun minimal harus ditemani oleh orang dewasa yang sudah berpengalaman atau harus membawa surat izin orang tua. Dan harus rutin melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah mengenai bagaimana menyusun dan mempersiapkan perjalanan,” ungkapnya.

Dari perspektif lingkungan, ia juga menilai aktivitas pendakian yang tidak terkontrol bisa memberi dampak serius. “Ketika pendakian dalam jumlah besar dan rentang waktu yang lama kemudian tidak terkontrol dan para pendaki tidak dibekali oleh pengetahuan tentang alam bebas, dampaknya terhadap lingkungan akan sangat besar,” ujarnya.

Beberapa dampak yang disebutkan adalah meningkatnya sampah karena minimnya kesadaran zero waste, terganggunya ekosistem akibat perilaku buang air besar sembarangan tanpa teknik gali-timbun, hingga perusakan habitat hutan akibat penebangan pohon tanpa pengetahuan yang tepat.

Sebagai solusi, Bios menawarkan adanya wadah pendidikan non formal yang fokus pada edukasi berkegiatan di alam bebas. Salah satunya adalah Katalun Jungle School (KJS) yang rutin membuka kursus dasar sebanyak dua kali dalam setahun secara gratis bagi generasi muda.

“Katalun Jungle School (KJS) adalah pendidikan non formal yang memberikan edukasi dan pengetahuan tentang bagaimana berkegiatan di alam bebas. KJS memiliki tiga tingkatan kualifikasi pembelajaran: paham, mengerti, dan menguasai. Semua siswa belajar mulai dari teori, praktik di lapangan bersama instruktur, hingga menguasai cara mempersiapkan perjalanan baik pendek maupun panjang,” jelasnya.

Bios menegaskan, KJS juga membuka ruang kerja sama dengan berbagai pihak. “KJS membuka pintu kerja sama sebesar-besarnya kepada sekolah, organisasi, atau siapa pun yang ingin mendapatkan bimbingan dan materi langsung dari KJS,” tutupnya.

Info lebih lanjut tentang Katalun Jungle School dapat diakses melalui Instagram @katalunjungleschool atau email [email protected].