Anak-anak dan Tumbuhnya Persepsi Baru tentang Peran Gender di Rumah

Ilustrasi keluarga egaliter, (Foto: Pixabay.com).

TENTANGPUAN.com – Perubahan peran gender dalam rumah tangga modern tidak hanya memengaruhi pasangan suami istri, tetapi juga berdampak langsung pada cara anak-anak memahami peran laki-laki dan perempuan.

Di tengah keluarga yang semakin egaliter, anak-anak kini tumbuh dengan pola pikir yang lebih terbuka tentang siapa yang bisa memasak, mengurus rumah, atau mencari nafkah.

Anak-anak yang melihat ayah mereka mencuci piring, mengganti popok adik, atau menyiapkan bekal sekolah akan membentuk pemahaman bahwa pekerjaan rumah bukanlah tugas “perempuan semata”.

Begitu pula saat mereka melihat ibu tetap bisa bekerja, berpendidikan tinggi, dan menjadi pengambil keputusan dalam keluarga. Semua ini menanamkan nilai bahwa peran gender bersifat fleksibel dan bisa dinegosiasikan berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan stereotip.

Hasil survei UNICEF Indonesia dan U-Report pada 2022 terhadap lebih dari 6.000 anak dan remaja menunjukkan bahwa 62 persen dari mereka setuju bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya memiliki tanggung jawab yang setara dalam rumah tangga.

Ini menunjukkan bahwa generasi muda memiliki kesadaran yang lebih progresif soal peran gender, terutama jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Namun, persepsi ini tidak terbentuk begitu saja. Orang tua memiliki peran krusial dalam membentuk cara pandang anak. Ketika anak laki-laki dilarang bermain boneka atau anak perempuan terus-menerus diminta membantu di dapur sementara saudara laki-lakinya tidak, mereka mulai menyerap pesan-pesan tentang pembatasan peran gender.

Sebaliknya, ketika anak-anak diberi kebebasan mencoba berbagai aktivitas tanpa dikotakkan oleh jenis kelamin, mereka tumbuh lebih percaya diri dan tidak terjebak dalam norma kaku.

Sekolah dan media juga memainkan peran penting dalam memperkuat atau menantang stereotip tersebut. Buku pelajaran, tayangan anak, dan konten digital sebaiknya menyajikan gambaran yang beragam mengenai keluarga dan peran gender.

Tokoh ayah yang lembut, ibu yang mandiri, serta anak-anak yang bebas memilih cita-cita tanpa batasan gender akan memperkuat pesan bahwa semua peran itu sah-sah saja.

Mendorong pembagian peran domestik yang setara dalam keluarga bukan hanya untuk keadilan pasangan suami istri, tetapi juga investasi jangka panjang bagi anak-anak.

Mereka yang tumbuh di lingkungan egaliter cenderung memiliki relasi sosial yang lebih sehat, lebih toleran terhadap perbedaan, dan memiliki kepercayaan diri yang lebih baik, baik sebagai laki-laki maupun perempuan.

Perubahan besar dimulai dari rumah. Ketika rumah tangga menjadi tempat di mana anak-anak melihat kerja sama, saling menghargai, dan kesetaraan, maka kita sedang menyiapkan generasi yang tidak lagi mempertanyakan siapa yang “seharusnya” melakukan apa, melainkan bertanya, bagaimana kita bisa saling membantu dan bekerja sama sebagai satu keluarga.