Masalah Badut di Jalanan Mogolaing, Bukti DP3A Kotamobagu Belum Maksimal Lindungi Anak?

//
Badut
Badut yang terjaring razia di Kotamobagu, (Foto: DP3A Kotamobagu).

TENTANGPUAN.com – Persoalan anak-anak badut jalanan di lampu merah Mogolaing kembali menegaskan kelemahan sistem perlindungan anak di Kota Kotamobagu. Meski Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) telah melakukan penertiban bersama sejumlah instansi, fenomena ini belum bisa diselesaikan secara tuntas.

Pada penertiban terakhir, 23 April 2024, sebanyak 11 anak badut yang rata-rata masih berusia sekolah dasar diamankan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP). Mereka diketahui menyewa kostum badut dari penyedia dewasa, sebuah praktik yang secara jelas melanggar prinsip perlindungan anak.

“Kami sudah tiga kali memberi arahan kepada pihak-pihak terkait. Namun karena belum ada Peraturan Daerah (Perda) khusus, tindakan tegas belum bisa dilakukan,” ungkap Kepala DP3A Kotamobagu, Sarida Mokoginta.

Suasana penertiban badut yang dilakukan oleh lintas instansi yang terkait, (Foto: DP3A Kotamobagu).

Penertiban ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, di mana pasal 68 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk tidak dipaksa bekerja.

Bahkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tegas melarang mempekerjakan anak di bawah usia 18 tahun, kecuali untuk pekerjaan ringan yang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial anak, serta harus mendapat izin orang tua.

Sayangnya, di Kotamobagu, belum ada Perda yang mengatur secara spesifik soal sanksi bagi orang dewasa yang melibatkan anak dalam aktivitas ekonomi berisiko, seperti menjadi badut di jalan raya.

“Perda-nya masih dalam proses pembahasan di DPRD. Kalau sudah ada, baru kami bisa melakukan tindakan lebih tegas,” tambah Sarida.

Kepala Dinas Sosial Kotamobagu, Noval Manoppo, juga mengakui bahwa pihaknya tak bisa berbuat banyak. Menurutnya, Dinsos hanya mendata dan memulangkan anak-anak ke orang tua mereka, sebab seluruh anak yang terjaring razia masih memiliki keluarga dan tidak tergolong anak terlantar.

“Kami cek juga apakah mereka penerima PKH atau bantuan lain, ternyata tidak. Intervensi kami sebatas memberi makanan, selebihnya menjadi tanggung jawab DP3A dan Dinas Ketenagakerjaan jika soal pendapatan keluarga,” jelas Noval.

Lurah Mogolaing, Masran Dugian, (Foto: Trideyna Cahyani).

Terpisah, Lurah Mogolaing, Masran Dugian, bahkan mengungkapkan sebagian orang tua anak-anak tersebut juga berprofesi sebagai badut. Meski sudah dipanggil dalam pertemuan bersama RT dan pihak kelurahan, para orang tua tetap membiarkan anak mereka turun ke jalan karena desakan kebutuhan ekonomi.

“Kami sudah beberapa kali imbau, mediasi, tapi belum ada solusi nyata. Ini soal perut, soal bertahan hidup. Harus ada kejelasan tindakan dari Pemkot dan dinas terkait,” katanya.

Sementara itu, Kepala SDN 1 Mogolaing, Nihirita Mantang, juga menceritakan usahanya mengawasi siswa-siswinya agar tidak terlibat menjadi badut jalanan. Bahkan ia sempat menyamar memantau ke lapangan, namun mengakui imbauan sekolah tak cukup menekan faktor ekonomi keluarga.

Kepala SDN 1 Mogolaing, Nihirita Mantang, (Foto: Trideyna Cahyani).

Regulasi di tingkat nasional sebetulnya sudah jelas melindungi hak anak. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 menegaskan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang membahayakan kesehatan, pendidikan, atau perkembangan mereka.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang diperbarui lewat UU No. 35 Tahun 2014, menyebutkan bahwa negara, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua wajib dan bertanggung jawab untuk melindungi anak dari penyalahgunaan dalam kegiatan ekonomi yang membahayakan.

Namun semua aturan ini tak berjalan efektif di tingkat daerah jika tidak ditopang regulasi lokal berupa Perda. Di sinilah kebuntuan terjadi, DP3A tak punya payung hukum kuat, Dinas Sosial terbatas perannya, Dinas Ketenagakerjaan belum terlibat aktif, sementara kemiskinan memaksa anak-anak tetap turun ke jalan.

Padahal risiko besar mengintai. Anak-anak badut ini berlari di tengah jalan raya, mengejar balon atau menawarkan jasa hiburan di tengah lalu lintas padat. Hingga kini memang belum ada kecelakaan, tapi semua pihak mengakui ancaman nyawa itu nyata.

Masran Dugian bahkan menyarankan agar keluarga anak-anak ini difasilitasi untuk berjualan di Lapangan Mogolaing yang ramai pelaku UMKM. Sayangnya, usulan ini belum direspons konkret oleh dinas terkait.

Fakta-fakta ini mengindikasikan bahwa DP3A dan Pemkot Kotamobagu belum maksimal dalam memenuhi mandat undang-undang dan konvensi internasional untuk melindungi anak. Selama akar persoalan kemiskinan tak diatasi dan regulasi lokal tak kunjung rampung, anak-anak Kotamobagu tetap rentan dieksploitasi di jalanan.