TENTANGPUAN.com – Perempuan muda di Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam hal akses terhadap informasi kesehatan reproduksi. Dalam banyak kasus, pengetahuan mereka terbatas pada apa yang didapat dari teman sebaya atau media sosial, yang belum tentu akurat.
Survei oleh UNICEF Indonesia pada 2020 menunjukkan bahwa hanya 48% remaja perempuan usia 15–19 tahun yang memiliki pengetahuan memadai tentang menstruasi dan kebersihan diri. Ini berarti lebih dari separuh remaja perempuan tumbuh tanpa pemahaman yang cukup tentang tubuh mereka sendiri.
Salah satu penyebab utama keterbatasan ini adalah budaya tabu yang masih kuat melekat dalam masyarakat.
Menstruasi dianggap sebagai sesuatu yang memalukan untuk dibicarakan secara terbuka. Bahkan di rumah tangga sendiri, banyak remaja perempuan merasa tidak nyaman bertanya kepada orang tua.
Dalam laporan Plan Indonesia (2018), sekitar 1 dari 3 anak perempuan merasa tidak tahu apa yang terjadi ketika pertama kali menstruasi karena tidak pernah mendapat penjelasan sebelumnya.
Kondisi ini diperparah oleh minimnya pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif di sekolah. Meski Kurikulum Merdeka telah memberi ruang untuk integrasi tema kesehatan dalam pembelajaran, implementasinya tidak merata.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), hanya 30% sekolah di Indonesia yang secara aktif memberikan pendidikan seksualitas yang menyeluruh dan sebagian besar masih bersifat normatif, bukan informatif.
Sementara itu, informasi yang akurat soal kontrasepsi dan infeksi menular seksual (IMS) juga sulit diakses oleh remaja, terutama dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, pengetahuan remaja perempuan usia 15–24 tahun tentang HIV/AIDS masih rendah, dengan hanya 25,7% yang tahu bahwa kondom bisa mencegah penularan. Angka ini menggambarkan betapa vitalnya kebutuhan akan edukasi berbasis bukti dan tidak menghakimi.
Perempuan muda dari desa atau keluarga miskin menghadapi lebih banyak hambatan. Selain akses informasi yang minim, mereka juga menghadapi keterbatasan fasilitas kesehatan, pembalut yang tidak terjangkau, serta kurangnya ruang aman untuk bertanya dan berdiskusi.
Ketimpangan ini menciptakan jurang antara mereka yang mampu memahami tubuhnya dan mereka yang terus hidup dalam ketidaktahuan yang dipaksakan oleh sistem.
Kesehatan reproduksi bukanlah soal moralitas, melainkan soal hak. Perempuan muda berhak tahu bagaimana tubuh mereka bekerja.
Mereka berhak mendapatkan informasi yang ilmiah dan inklusif. Mereka berhak bebas dari rasa malu saat belajar tentang menstruasi, kontrasepsi, atau penyakit menular seksual. Edukasi kesehatan reproduksi yang komprehensif adalah bagian penting dari perlindungan anak dan pemenuhan hak atas tubuh.
Karena itu, pemerintah, sekolah, dan komunitas perlu berhenti memperlakukan tubuh perempuan sebagai hal yang memalukan. Sudah saatnya kita berhenti membungkam dan mulai menyediakan ruang belajar yang aman, jujur, dan berpihak. Karena ketika perempuan muda paham tubuhnya, mereka bisa menjaga dirinya. Dan itu bukan ancaman–itu kekuatan.