Mengapa Sebaiknya Menggunakan Kata ‘Perempuan’ daripada ‘Wanita’ dalam Diskursus Gender?

Ilustrasi by genetare Canva.
Ilustrasi by genetare Canva.

TENTANGPUAN.com – Bahasa merupakan alat komunikasi yang mencerminkan nilai-nilai budaya, termasuk dalam konteks gender. Di Indonesia, kata “wanita” dan “perempuan” sering digunakan secara bergantian dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, keduanya memiliki asal-usul dan konotasi yang berbeda, yang memengaruhi makna serta cara penggunaannya. Dalam diskursus gender, perbedaan ini menjadi penting untuk dibahas karena terkait erat dengan sejarah dan perjuangan kesetaraan di Indonesia.

Secara etimologis, kata “perempuan” berasal dari bahasa Sansekerta “pu” yang berarti hormat, atau dari bahasa Jawa Kuno “empu” yang bermakna tuan, mulia, atau terhormat.

Dalam perkembangannya, kata ini mengalami afiksasi menjadi “perempuan”, yang membawa makna penghormatan dan penghargaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perempuan didefinisikan sebagai manusia yang memiliki kemampuan biologis seperti menstruasi, melahirkan, atau menyusui.

Sebaliknya, kata “wanita” merupakan serapan dari bahasa Sansekerta “vanita” yang berarti “yang diinginkan”. Dalam budaya Jawa, ada tafsiran rakyat yang memplesetkan kata ini menjadi “wani ditata”, yang berarti “berani diatur”.

Walaupun etimologi ini diperdebatkan, konotasi “wanita” sering dikaitkan dengan penurut dan domestikasi, terutama selama masa Orde Baru. Program-program seperti Dharma Wanita, yang menekankan peran perempuan sebagai pendamping suami dan pengurus rumah tangga, semakin memperkuat stereotip ini.

Pada masa Orde Baru, organisasi-organisasi seperti Dharma Wanita, Persit Kartika Chandra Kirana, dan lainnya, membentuk citra perempuan yang ideal sebagai penurut dan mendukung suami. Identitas perempuan sering kali dilekatkan pada status suami, sehingga mengaburkan kemandirian dan kontribusi perempuan di luar peran domestik.

Buku “Women and the State in Modern Indonesia” karya Susan Blackburn menggambarkan bagaimana negara pada masa itu berusaha mengarahkan perempuan untuk tunduk pada cita-cita pembangunan, menjadikannya bagian dari sistem patriarki yang terstruktur.

Seiring dengan reformasi dan meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender, para aktivis mulai menghindari penggunaan kata “wanita” karena asosiasinya dengan domestikasi. Sebagai gantinya, kata “perempuan” lebih banyak digunakan, mencerminkan upaya untuk mengembalikan martabat dan identitas perempuan.

Kongres Perempuan Indonesia pada tahun 1928 telah menetapkan “perempuan” sebagai istilah yang mewakili aspirasi dan perjuangan kaum hawa. Organisasi seperti Komnas Perempuan, Solidaritas Perempuan, dan Yayasan Perempuan Mahardika memilih kata ini untuk menegaskan fokus mereka pada pemberdayaan dan kesetaraan.

Perubahan penggunaan kata ini juga terlihat dalam pemerintahan. Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita diubah menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Ini menandakan pergeseran paradigma dari peran domestik ke pemberdayaan dan partisipasi aktif perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam konteks modern, penggunaan kata “perempuan” dianggap lebih tepat, terutama dalam isu-isu pemberdayaan, hak asasi, dan kesetaraan.

Kata ini membawa konotasi kemandirian, penghormatan, dan keadilan, yang sejalan dengan nilai-nilai perjuangan gender. Telaah semantik dan historis menunjukkan bahwa “perempuan” memiliki makna yang sejajar dengan “laki-laki”, baik secara etimologis maupun pragmatis.

Namun, penting untuk dicatat bahwa penggunaan kata “wanita” masih diterima dalam berbagai konteks tanpa maksud merendahkan. Perbedaannya terletak pada kesadaran akan sejarah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami konteks ini, masyarakat dapat lebih bijak memilih kata yang digunakan, sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan.

Diskursus mengenai “wanita” dan “perempuan” bukan sekadar persoalan linguistik, tetapi mencerminkan perjuangan melawan patriarki dan upaya membangun kesetaraan.

Dengan memilih kata yang tepat, kita turut mendukung perubahan sosial yang menghormati hak, martabat, dan identitas perempuan sebagai individu yang merdeka dan setara.