BULIR keringat jatuh menetes di wajah Sumarni Potabuga (60), bersamaan dengan suaranya yang parau ia bercerita. Pada medio Februari 2024, tanpa takut Sumarni menghadang iringan mobil pejabat dan terus berteriak melakukan aksi protes saat kunjungan Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey ke Desa Pindol, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara (Sulut). Desa di mana proyek strategis nasional Bendungan Lolak dibangun.
Sumarni adalah salah satu warga Pindol yang vokal mempertanyakan ganti rugi atas lahan yang tak kunjung dibayar pemerintah. Dalam aksinya, Sumarni kerap diamankan aparat.
“Waktu itu, saya langsung diamankan dan dibawa ke Polres Bolmong. Buntut dari aksi saya itulah kemudian, Gubernur mengatakan akan mengundang kami duduk bersama di kantor gubernuran, mendiskusikan apa yang menjadi keluhan kami. Faktanya, tidak demikian,” jelas Sumarni, Selasa, (3/12/2024).
Sebagai perempuan manula, Sumarni cukup kritis bersuara. Ia menyadari betul efek perampasan lahan yang terjadi terhadap kehidupan generasinya mendatang. Sehingga, ia selalu berada di garda terdepan dalam setiap aksi pembebasan lahan bersama warga Pindol. Namun aksinya selalu dinihilkan dengan narasi-narasi yang keliru dan memojokkan.
“Sebelum saya dibawa ke Polres Bolmong waktu itu untuk klarifikasi, saya mendapat perkataan-perkataan yang seolah merendahkan, dan mempertanyakan apa yang sebenarnya saya perjuangkan. Seolah-olah saya ini konyol. Kalimat seperti bahwa saya mengada-ada, atau ganti rugi sudah selesai dan saya tidak memiliki lahan yang harus diganti rugi lagi, itu terus dilontarkan, terutama oleh aparat,” jelas Sumarni.
Padahal, sebagai korban yang terdampak pembangunan bendungan, apa yang dilakukan Sumarni bukan tidak berdasar. Ia tidak hanya telah kehilangan satu-satunya sumber penghidupan, yakni lahan perkebunan dari peninggalan almarhum suaminya. Sumarni bahkan bersama para pihak termasuk Balai Sungai, sangadi (kepala desa) dan banyak saksi, baik di pihak pemerintah pun di pihak keluarga telah sampai di ujung mufakat, bahwa memang Sumarni berhak atas lahan yang kini telah tergenang air tapi tidak kunjung dibayarkan.
Jalan terjal itu bernama perjuangan
Menjadi kritis lantas lantang bersuara bagi perempuan di Sulut bukanlah jalan yang mudah, terutama mengenai isu-isu lingkungan yang belakangan banyak menyeruak. Tidak hanya Sumarni, di belahan bumi Sulut lainnya, kekritisan dan perjuangan telah membawa Jull Takaliuang (55) merasakan bagaimana menjadi tahanan.
Sebagai aktivis lingkungan yang fokus terhadap isu tambang, Jull yang sering mendampingi warga kerap mendapat serangan. Jull menceritakan bagaimana awalnya hingga ia tertarik terjun berjuang dalam mendampingi masyarakat sekitar lingkar tambang.
Keterpanggilan Jull berangkat dari rasa frustasi dan trauma saat ia melihat langsung masyarakat terkena limbah pertambangan. Pengalamannya dimulai pada tahun 2004-2005, saat ia fokus mendampingi perempuan dan anak-anak yang menderita akibat keracunan limbah PT Newmont di Teluk Buyat, Minahasa.
“Saya melihat, sedikit sekali bahkan nyaris tidak ada orang yang mau memberi diri terhadap isu lingkungan yang spesifik ke pertambangan. Dulu, saya mendampingi ibu dan anak-anak sakit. Bersama dokter Jane Pangemanan, kami mengidentifikasi gejala yang dialami, seperti sakit kepala, gemetaran, gatal-gatal, hingga keracunan. Anak-anak menderita setiap hari, dan kami melihat betapa penderitaan ini menjadi persoalan yang serius, terutama bagi perempuan dan anak yang paling terdampak, sebab, selalu berada di rumah. Mereka dekat dengan sungai, laut, dan sumur, dekat dengan sumber-sumber kehidupan yang telah terkontaminasi,” ungkap Jull, Selasa, (3/12/2024).
Pengalaman tersebut menjadi pemicu bagi dirinya untuk bergerak mencegah tragedi serupa terjadi lagi. Perjuangan Jull tidak mudah. Jull mengungkapkan adanya manipulasi data, intervensi perusahaan tambang, hingga tantangan besar dalam mengadvokasi korban.
“Pokoknya, setiap ada tambang yang masuk di Sulawesi Utara, itu selalu menjadi tanda awas bagi saya. Sebab, pengalaman telah mengajarkan saya, perusahaan tambang sering mendesain polemik dengan melibatkan pemerintah dan para pakar, sehingga menghilangkan potensi kekacauan akibat dampak buruk yang diberikan. Akhirnya, yang menjadi prioritas bukan lagi menyelamatkan korban, menyelamatkan manusia, tetapi lebih pada membahas apakah wilayah tersebut tercemar atau tidak,” ujarnya.
Pembusukkan nama hingga ancaman pembunuhan
Dalam perjalanannya mengadvokasi kasus tambang, Jull memahami betul potensi risiko yang besar. Ia sendiri pernah diancam akan dibunuh. Tak cukup sampai di situ, Jull mengatakan jika pembusukan terhadap namanya dilakukan terus menerus, bahkan oleh media massa.
“Namanya juga tambang, pasti ada kekerasan, ada uang besar yang beredar, ada ancaman fisik. Saya sendiri, mobil saya pernah ditabrak, saya diancam akan dibakar. Sebenarnya teman-teman di media massa juga tidak sedikit yang pro tambang dan mulai melakukan pembusukan terhadap nama saya. Fitnah mulai diluncurkan terhadap saya. Kalau tidak kuat lahir batin, pasti menyerah. Tapi saya berserah pada Tuhan dan berjanji tidak akan berhenti, karena sebagai perempuan dan sebagai manusia yang berpikir, saya tidak mau ada korban lagi seperti yang terjadi di Buyat dulu,” tegasnya.
Jull yang merupakan Direktur Yayasan Suara Nurani Minaesa, juga berbagi pengalaman menjadi tahanan rumah pada tahun 2007 selama delapan bulan, dengan putusan percobaan 1,6 bulan. Kala itu, Jull sedang aktif berjuang bersama warga menghadapi perseteruan dengan PT. Meares Soputan Mining (MSM).
“Saya yang menjalani persidangan merasa tidak diberikan hak asasi manusia sama sekali. Waktu itu, jelas sekali, saya bisa menyaksikan orang-orang perusahaan keluar masuk ruang persidangan tanpa batasan,” katanya.
Kriminalisasi dan kejanggalan-kejanggalan itu pula yang mendorong suami Jull, Didi Koleangan, hingga tertarik belajar hukum. Dari seorang pengusaha, akhirnya suami Jull mulai terjun dan melakukan pendampingan, terutama pendampingan hukum bagi kasus-kasus tambang dan agraria di Sulawesi Utara.
“Suami saya melihat banyak hal janggal. Teman sesama aktivis beberapa justru tiba-tiba berbalik arah dan tidak membela lagi. Dari situ, ia merasa perjuangan saya harus didukung. Ia belajar hukum dan mulai terjun mendampingi korban. Bahkan sekarang menjadi orang terdepan yang mendampingi saya dalam perkara hukum saat mengadvokasi. Dan kalau anak, karena mungkin ya, sejak dalam kandungan sudah merasakan perjuangan ibunya, dia pun jadi lebih mengerti dengan kondisi kami,” tambahnya.
Jull juga menyoroti pentingnya peran perempuan dalam perjuangan lingkungan. Sebab, Jull meyakini perempuan memiliki sensitivitas yang baik dalam memahami kebutuhan kehidupan terutama anak dan perempuan itu sendiri.
“Sulawesi Utara ini dikenal dengan keberagaman, dengan pola pikir yang jauh lebih terbuka, tetapi harus diakui pula jika perempuan tetap saja menjadi subordinasi,” jelas Jull.
Komprehensif dan punya kepekaan yang baik
Perempuan memiliki cara berpikir yang komprehensif dan sensitif, terutama dalam menjaga kehidupan yang tercermin dari kepiawaian menjaga keluarga. Bahkan, dalam setiap perjuangan, Jull mengatakan bahwa ia melihat, jika yang paling militan justru adalah perempuan. Perempuan sering berada di garis depan aksi-aksi perjuangan. Hal serupa juga tercermin dari Yunita Siwi (48).
Sebagai Supervisor Program Selamatkan Yaki, Yunita telah membuktikan konsistensi dan komitmennya dalam menjaga lingkungan, lewat pendekatan pelestarian satwa-satwa endemik Sulut, yang tidak hanya dilindungi tetapi juga terancam punah.
Yunita sering bersinggungan dengan para pemburu serta berada di situasi-situasi yang menuntut dirinya harus berpikir kritis dan keras. Ia memberikan pandangannya tentang peran perempuan, khususnya perempuan Minahasa dalam menjaga alam dan satwa endemik.
Sebagai perempuan Minahasa, salah satu suku yang berada di Sulut, Yunita merasa memiliki keistimewaan karena mendapatkan akses yang lebih baik lewat budaya egaliter yang ditinggalkan oleh leluhurnya. Namun, Yunita mengatakan jika perjuangan perempuan harus terus dilakukan.
“Saya tidak terintimidasi secara langsung seperti yang terjadi di luar. Saya sendiri berusaha mempertahankan konsistensi dengan niat dan menjadikan perjuangan ini sebagai tujuan hidup. Saya membawa itu sebagai pegangan, sehingga bisa bertahan, serta berusaha untuk tidak merugikan orang lain,” ungkapnya.
Yunita mengatakan bahwa perempuan harus meyakini bahwa mereka memiliki nilai yang kuat, agar terus menggali potensi terbaik di dalam diri mereka. Nilai lebih yang bisa mempengaruhi orang lain dengan cara yang positif, tidak takut menjadi kritis dan bersuara. Keberanian ini yang membuat Yunita berhasil melakukan perubahan dalam dunia konservasi satwa terutama Yaki (Macaca nigra), atau Monyet hitam sulawesi.
Dalam berinteraksi terutama dengan pemburu, Yunita mampu membuktikan diri dengan selalu memilih pendekatan lewat berbagi pemahaman tanpa menghakimi.
“Kami memberikan pengetahuan bahwa kita memiliki satwa bagus, satwa kunci endemik. Pendekatan positif ini dilakukan tanpa menghakimi, tetapi memberi pengertian, baik itu soal perburuan atau tambang. Setidaknya mereka tahu itu dulu,” tambahnya.
Meski demikian, jalan Yunita tidak selalu mulus. Awal terjun ke lapangan, ia menghadapi berbagai tantangan, termasuk pernah mendapat serangan pada tahun 2013-2014. Serangan ini tidak hanya datang dari pemburu namun juga dari para budayawan. Tapi, kata Yunita itu terjadi karena kurangnya pemahaman.
Sejauh ini, pendekatan positif yang diusung Yunita dan tim membuahkan hasil. Tingkat perburuan Yaki karena konsumsi mulai berkurang. Yaki juga sudah tidak terlihat lagi dijual secara masif di pasar-pasar tradisional di Sulut. Semua itu berkat keteguhan dan kerja-kerja panjang semua elemen masyarakat, terutama Yunita bersama timnya di Program Selamatkan Yaki. Dari delapan anggota tim, Yunita mengatakan, enam di antaranya adalah perempuan.
Membangun jaring perlawanan
Yunita yang sudah 30 tahun bergelut dalam isu konservasi juga menceritakan bagaimana kecintaannya pada alam dimulai sejak kecil. “Sejak SD sudah suka alam. Saat kuliah masuk MAPALA. Di kampus, saya sering diminta untuk membantu peneliti yang masuk di Sulawesi Utara, ikut penelitian dan survei dari tahun 1996 hingga kini. Itu semua tanpa memandang keuntungan atau uang, tapi memang datang dari kecintaan dan pemikiran untuk alam yang lebih baik,” ceritanya.
Baginya, niat yang murni dan tulus untuk alam akan memberikan timbal balik positif. Yunita percaya bahwa perempuan mampu menciptakan perubahan besar. Ia juga meyakini pentingnya membangun jejaring.
“Pasti ada cara untuk melakukan itu, pasti ada cara untuk mengungkapkan itu, baik dengan cara apa saja. Yang penting adalah berani,” tutupnya.
Senada, Jull Takaliuang juga menekankan pentingnya membangun jaringan untuk memperkuat gerakan. Terutama dalam mitigasi. Selain itu, berjejaring memungkinkan berbagai pihak untuk berbagi sumber daya, ide, dan pengalaman memperkuat dampak advokasi. Berjejaring dapat memperkaya perspektif dan memperluas cakupan isu.
“Kita memiliki keterbatasan, tetapi dengan jaringan seperti JATAM, WALHI dan Greenpeace, misalnya, kita bisa memperjuangkan keselamatan bersama. Tentu, ada pihak yang akan menjelekkan, tetapi semesta tahu bahwa kita bergerak untuk keselamatan,” kata Jull.
Perempuan harus berani merebut ruang. Berkali-kali Jull menyebut jika yang paling merasakan dampak buruk dari kebijakan pemerintah terutama yang bersinggungan dengan lingkungan adalah perempuan dan anak. Sehingga perempuan harus bergandeng tangan, saling menguatkan dan melawan.
“Toh, ukuran kesejahteraan antara pemerintah dan masyarakat agaknya berbeda. Kesejahteraan apa yang pemerintah harapkan dari pembangunan yang berujung pada perampasan lahan-lahan masyarakat. Sederhana saja, kalau lahan dirampas, masyarakat justru menderita. Jadi tak ada pilihan, perempuan harus berani melawan meski sistem ini seolah terus memaksa membungkam kita,” tegas Jull.
Sisterhood sebagai kunci
Apa yang dikatakan Jull, turut dibenarkan oleh Ruth Ketsia Wangkai, Koordinator Gerakan Perempuan Sulut (GPS). Perempuan yang juga tergabung dalam PERWATI (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia) ini, membangun kekritisan lewat teks-teks dalam Al-kitab. Ruth menyebut jika, pendekatan patriarki yang dilakukan selalu membuat perempuan berada di posisi objek. Tidak pernah dilihat sebagai subjek.
Ia menyayangkan serangan-serangan yang masif atas kekritisan perempuan di Sulut. Menurutnya, seharusnya kekritisan perempuan perlu dipandang sebagai sebuah kemajuan bangsa dan harus mendapat dukungan bersama, terutama mereka yang berada di akar rumput seperti Sumarni di Desa Pindol, Bolmong.
“Perempuan-perempuan seperti Sumarni adalah arus pinggiran bukan berada di poros tapi berani memperjuangkan hak dan melawan pelanggaran HAM. Mereka terdampak langsung mega proyek pemerintah, pantas untuk dinarasikan dengan layak dan didukung untuk jadi role model perjuangan.Bukan dinihilkan dan barangkali dianggap gila karena ia adalah perempuan dan sudah tua pula. Ini seperti kisah di masa Yahudi, saat ada perempuan yang sakit pendarahan 12 tahun, dia dikucilkan sampai Yesus datang bersama sahabat. Dalam konteks ini, Yesus selalu dianggap subjek dan perempuan inilah objek, tapi orang-orang tidak melihat bagaimana perjuangan perempuan ini. Bagaimana inisiatifnya, keberaniannya di tengah pengucilan, dialah yang berjuang datang pada Yesus, apalagi dengan kondisi fisik yang sakit selama 12 tahun, tidak terbayangkan,” ucap Ruth.
Ruth juga mengkritik negara lewat lembaga-lembaganya, baik eksekutif bahkan legislatif, adakala menjadi lawan nyata lewat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kebutuhan perempuan.
Persoalan perempuan selalu digeneralisir. Dalam membuat kebijakan, negara yang seharusnya memberikan hak dan perlindungan tidak menggunakan pendekatan interseksionalitas. Tidak melihat faktor-faktor yang berkelindan sebagai sumber ketertindasan perempuan. Bahwa perempuan tidak bisa dianggap sebagai identitas tunggal saja tetapi jamak.
“Kan perlu untuk mengenali konteks dan kebutuhan masing-masing. Apa yang membedakan pengalaman mereka. Satu tubuh saja, bisa memiliki identitas berlapis, jadi jangan disama-ratakan,” ucap Ruth.
Lebih tegas, Ruth bahkan mengatakan bahwa, konsep egaliter yang diwariskan leluhur Minahasa tidak cukup untuk membuat perempuan di Sulut tidak mendapat serangan atas kekritisan mereka.
“Itu memang benar, tapi saya bilang itu romansa masa lalu. Emansipasi gelombang pertama, kita tidak lagi sedang berbicara gender biner, kita sudah melewati gelombang kedua dan sekarang berada di gelombang perjuangan ketiga. Relasi kuasa di sini masih begitu kuat. Kita bisa lihat, meski banyak pemimpin perempuan pertama di Indonesia ini lahir di Sulut karena akses yang datang dari konsep egaliter tadi, faktanya itu tidak cukup membuat perempuan di Sulawesi Utara terlepas dari serangan atas kekritisan mereka. Apalagi mereka yang vokal dengan isu-isu lingkungan, di luar banyaknya kekerasan, baik itu KDRT, KS dan sejumlah persoalan lain,” jelas Ruth.
Kekerasan-kekerasan itu terbayang jelas di ingatan Ruth. Ia bahkan menyayangkan mental perempuan ditakut-takuti dengan senjata. Pada Agustus 2021, ia terjun mendampingi warga Sangihe menolak kehadiran PT. TMS (Tambang Mas Sangihe). Kala itu, Ruth menyebut bersama Jull Takaliuang turut aksi bersama warga. Ia mengatakan perempuan-perempuan berhadapan langsung dengan APH yang bersenjata lengkap.
“Bisa dilihat, baik warga pun aparat adalah sama-sama warga Sangihe, tapi karena perusahaan membayar aparat, ya itulah yang terjadi. Ada politik devide et impera (pecah belah) warisan kolonial. Perempuan yang kritis bersuara, mendapat serangan berlapis-lapis, jadi memang butuh penguatan,” kata Ruth.
Tidak boleh tidak, peningkatan kapasitas perempuan harus terus dilakukan, Ruth mengatakan, keberanian tanpa kapasitas adalah kekonyolan. Ia menekankan pentingnya penerapan konsep sisterhood. Sebuah konsep yang merujuk pada solidaritas, persaudaraan, dan dukungan antar sesama perempuan, berdasarkan pengalaman, tantangan dan tujuan bersama.
“Sumarni dan perempuan-perempuan Sulut yang sedang berjuang akibat perampasan ruang hidup, baik karena mega proyek, tambang, normalisasi atau yang sedang berkonflik agraria, siapapun dia, perlu mendapat dukungan kita semua, oleh aktivis dan jurnalis, agar mereka kuat dan tidak merasa sendiri. Tidak merasa ditinggalkan, hingga terus merawat kekritisan mereka. Membangun gerakan, kekuatan bersama agar bisa saling menguatkan, memberi energi baru yang positif, terutama dalam menghadapi kekuatan besar yang dalam hal ini adalah negara,” kata Ruth.
Konsep sisterhood diyakini Ruth menjadi landasan penting dalam melawan berbagai tantangan, termasuk serangan terhadap kekritisan perempuan. Solidaritas yang terbangun melalui sisterhood memungkinkan perempuan untuk saling mendukung dan menguatkan, sehingga perjuangan tidak lagi terasa sebagai beban individual, melainkan gerakan kolektif.
Perjuangan perempuan seperti Sumarni, Jull Takaliuang, Yunita Siwi, dan banyak perempuan lainnya menjadi bukti nyata bahwa kekritisan perempuan mampu membawa perubahan. Mereka tidak hanya melawan ketidakadilan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi perempuan lain untuk berani bersuara dan memperjuangkan hak-haknya.
Artikel ini merupakan kolaborasi liputan bersama Women’s Media Collabs, didukung oleh IMS – International Media Support dan European Union.