TENTANGPUAN.com – Viral kasus guru honorer Supriyani di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang dilaporkan oleh orangtua murid menimbulkan keprihatinan dan diskusi di kalangan pendidik, termasuk para guru di Kota Kotamobagu.
Mereka merasa dilema dalam mendisiplinkan siswa, di tengah perubahan paradigma pendidikan yang saat ini mengutamakan pendekatan karakter tanpa hukuman fisik.
Kepala SDN 3 Motoboi Kecil, Wiwin Mamonto, menyoroti perlunya pendekatan yang lebih proporsional dalam menyikapi kasus disiplin yang melibatkan guru.
“Mestinya pihak ‘korban’ melakukan upaya cross check yang seimbang antara kedua belah pihak agar ditemukan titik terang yang tidak memihak, meskipun terjadi pada anggota keluarga. Jika cenderung membenarkan argumen sepihak dan didukung dengan kedudukan sebagai penegak hukum, rasanya kurang bisa diterima,” ujar Wiwin, Kamis (13/11/2024).
Wiwin juga mengungkapkan kekecewaannya atas praktik permintaan uang damai dengan jumlah yang dinilai tak wajar.
“Ini mengindikasikan bahwa pendidik, yang dengan berbagai upaya mencerdaskan generasi bangsa, tidak lagi dianggap sebagai profesi mulia tetapi hanya dipandang pekerja rendahan yang tidak perlu dihargai,” tambahnya.
Sementara itu, Melsa A. Paputungan, guru honorer di SDN 3 Motoboi Kecil, juga mengakui bahwa banyak guru saat ini menghadapi situasi sulit.
Menurutnya, dukungan peran orangtua sangat dibutuhkan agar siswa lebih menghargai guru.
“Sistem pendidikan di Indonesia agak sedikit terganggu, karena peran orangtua yang mulai memudar. Anak-anak sekarang sedikit melawan/menentang terhadap guru. Bukan hanya di sini atau di Konawe, tapi di banyak sekolah lainnya. Sedikit ditegur saja, siswa bisa mengadu pada orangtua,” jelas Melsa.
Ia menambahkan bahwa dinamika ini membuat guru sering kali serba salah.
“Mo bilang akang yang alus, dorang pe mental lagi (ditegur dengan halus, mental mereka juga) so sadiki ini moba kras akang salah (kalau ditegus sedikit keras juga jadi salah). Harus banyak-banyak bersabar menghadapi anak sekarang,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Amina Dilapanga, seorang guru di SDN 3 Motoboi Kecil yang merasa bahwa undang-undang perlindungan anak, meskipun penting, kerap disalahpahami oleh beberapa orangtua dan siswa.
“Sekarang ini kan undang-undang perlindungan anak sudah ada, jadi guru tidak boleh menegur sedikit saja. Adakalanya orangtua langsung buat status di media sosial. Padahal tujuan guru kan mendidik,” kata Amina.
Amina yang sudah puluhan tahun mengajar anak SD ini juga menilai, adanya perbedaan yang mencolok antara sikap siswa dulu dan sekarang.
“Dulu kalau kami ketemu guru, kami pegang tangan. Tapi anak-anak sekarang, hormat dan sopan santunnya tidak seperti dulu. Guru sekarang serba salah, mau agak keras sedikit bisa dilaporkan ke polisi,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Dinas Pendidikan Kotamobagu, Moh. Aljufri Ngandu, juga turut menyampaikan keprihatinannya.
“Dengan kasus yang ada, tentu kami sangat prihatin. Kami percayakan sepenuhnya pada proses hukum yang ada, tapi kami turut prihatin dengan yang terjadi pada seorang guru di Konawe tersebut,” ungkap Aljufri, saat dihubungi lewat telepon, Rabu, (13/11/2024).
Aljufri mengimbau agar para guru di Kotamobagu berhati-hati dalam mendisiplinkan siswa dan menghindari hukuman fisik atau verbal yang bisa disalahartikan.
Ia mengingatkan bahwa di setiap sekolah sudah ada Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) untuk menyelesaikan masalah disiplin secara internal.
“Di setiap sekolah kan sudah ada TPPK. Setidaknya semua permasalahan yang terjadi di sekolah dapat diselesaikan di tingkat TPPK ini, karena di situ ada unsur orangtua dan guru,” tegas Aljufri.
Para guru berharap kasus seperti ini dapat diatasi dengan cara yang tidak melemahkan peran pendidik dalam mendisiplinkan generasi muda.
Peliput: Tri Deyna