TENTANGPUAN.com – Setelah Raja Datoe Cornelis Manoppo wafat pada 2 Juni 1926, Kerajaan Bolaang Mongondow menghadapi masa-masa ketidakstabilan. Dengan meninggalkan warisan pemerintahan selama 26 tahun, masa kepemimpinan Datoe Cornelis membawa banyak perubahan, termasuk dalam stabilitas sosial, pendidikan, serta pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang menghubungkan berbagai desa. Bersama menantunya yang berwibawa, Djogugu Abram Patra Mokoginta, para pemimpin desa (sangadi) diarahkan untuk turut serta dalam pembangunan negeri.
Namun, ketika Datoe Cornelis meninggal, pertanyaan seputar penerus takhta menyebar di masyarakat. Nama A.P. Mokoginta, yang didukung sebagian bangsawan, muncul sebagai calon kuat. Namun, ancaman dari kekuasaan kolonial membuatnya disingkirkan. Akhirnya, setelah satu tahun tanpa raja, Laurens Cornelis Manoppo diangkat pada 7 Juli 1927, menggantikan Datoe Cornelis. Meskipun A.P. Mokoginta tidak lagi berada di istana, ia memulai kehidupan baru di Batavia, tempat ia menduduki berbagai jabatan penting, termasuk sebagai anggota Gemeenteraad dan Kepala Balai Pustaka.
Di Batavia, Mokoginta menghasilkan beberapa karya, seperti “Verzameling van Reglementen en Keuren van Politie in de Residentie Manado” (1934) dan “Verzameling van Zelfbestuursverordeningen in de Residentie Manado” (1935). Baginya, pendidikan adalah sarana untuk membebaskan bangsa dari keterbelakangan dan feodalisme. Pemikirannya ini turut memengaruhi kehidupan anak-anaknya, terutama Magdalena Mokoginta.
Magdalena Mokoginta: Dari Bolaang Mongondow hingga Panggung Nasional
Magdalena, atau Lena, Mokoginta adalah seorang dara keturunan bangsawan Bolaang Mongondow yang menamatkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Berbeda dengan banyak perempuan bangsawan pada masanya, Lena memiliki kepribadian kuat, tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang mendukung pemikirannya yang progresif. Lena tidak hanya menjalani pendidikan, tetapi juga aktif berorganisasi, terutama di Jong Celebes yang kala itu dipimpin oleh dr. Senduk. Aktivitasnya dalam organisasi ini mengasah karakter yang tangguh, yang kelak mengantarkannya dalam momentum penting sejarah nasional, Sumpah Pemuda 1928.
Bersama rekannya dari Jong Celebes, Arnold Monotutu dan Waworuntu, Lena turut serta dalam Kongres Pemuda II sebagai perwakilan Sulawesi. Di samping itu, ia juga menjadi Sekretaris Jong Celebes dan anggota delegasi Kongres Indonesia Muda di Solo. Kehadirannya dalam peristiwa Sumpah Pemuda menjadi salah satu kontribusi penting Bolaang Mongondow dalam upaya menyatukan bangsa.
Sumpah Pemuda dan Upaya Pemuda Menuju Persatuan Nasional
Momen Sumpah Pemuda yang dikukuhkan pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 menjadi titik penting dalam sejarah Indonesia. Pemuda dari seluruh Hindia Belanda berkumpul, mengikrarkan persatuan dalam satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Pemahaman akan pentingnya persatuan telah berkembang sejak didirikannya Boedi Oetomo pada tahun 1908, yang menyadarkan pemuda bahwa “ego kewilayahan” menjadi penghambat perjuangan melawan penjajahan. Pemuda mulai memahami bahwa untuk melawan penjajahan, mereka perlu mengesampingkan kedaerahan dan fokus pada upaya membangun persatuan.
Magdalena Mokoginta hadir sebagai bagian dari babak besar ini. Keterlibatannya dalam Sumpah Pemuda 1928 mewakili Bolaang Mongondow dan menunjukkan bahwa perempuan, meski berada di tengah kultur feodalisme, memiliki hak dan kemampuan untuk berperan dalam perjuangan bangsa. Bagi Bolaang Mongondow, keterlibatan Magdalena menjadi kebanggaan tersendiri. Ia adalah salah satu putri daerah yang turut membangun fondasi persatuan nasional.
Inspirasi dari Magdalena Mokoginta untuk Generasi Masa Kini
Magdalena Mokoginta tidak hanya hadir sebagai representasi Jong Celebes di Kongres Pemuda, tetapi juga sebagai simbol bahwa perempuan mampu memainkan peran penting dalam sejarah bangsa. Ia menunjukkan bahwa latar belakang feodalisme di kampung halaman tidak menghalangi langkahnya dalam membangun persatuan. Di Batavia, ia aktif berkontribusi di organisasi-organisasi yang memperjuangkan pendidikan, persatuan, dan kesetaraan, sebuah semangat yang relevan hingga kini.
Sosok Lena Mokoginta merupakan inspirasi bagi perempuan Bolaang Mongondow dan Indonesia pada umumnya. Sebagai seorang yang tumbuh dalam lingkungan bangsawan namun memilih jalan perjuangan, ia membuktikan bahwa pendidikan dan keteguhan hati dapat mengubah jalan hidup seseorang. Dalam merayakan Sumpah Pemuda, kita dapat menghargai dan meneladani perjuangannya yang memperkuat ikatan nasionalisme Indonesia.
Warisan semangat dan keberanian Magdalena Mokoginta juga dapat memotivasi generasi muda Bolaang Mongondow untuk berkontribusi lebih luas dalam pembangunan, bukan hanya di daerah asal, tetapi juga di tingkat nasional.
Arikel telah tayang di Bolmong.News dengan judul Lena Mokoginta: Perempuan Mongondow Peserta Kongres Sumpah Pemuda 1928 dan ditulis oleh Murdiono P. A. Mokoginta. Penulis adalah Ketua Pusat Studi Sejarah Bolaang Mongondow Raya (PS2BMR). Menulis Buku “Perlawanan Rakyat di Pedalaman Mongondow Tahun 1902, (Penerbit Ombak: 2024”.