TENTANGPUAN.com – Di balik tumpukan sampah yang menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Poyowa Kecil, Kotamobagu, tersimpan kisah keteguhan seorang perempuan. Serli Laluyan, 56 tahun, bersama suaminya, telah menjadi saksi hidup dari sejarah panjang TPA ini. Mereka adalah pemulung pertama yang hadir sejak tempat ini dibuka, menorehkan cerita kehidupan di tengah bau menyengat dan lautan sampah.
Setiap Senin hingga Sabtu, sejak pukul 8 pagi hingga sore, pasangan ini menjalani rutinitas mereka. Di tengah hiruk pikuk truk-truk sampah yang berlalu lalang, Serli dan suaminya menyusuri gunungan limbah. Mereka dengan teliti memilah sampah-sampah bernilai seperti plastik, karung, kaleng, dan bahkan sisa makanan yang bisa digunakan untuk pakan ternak. Semua dikerjakan dengan penuh ketekunan, meski tantangan fisik kerap menghampiri mereka.
Di salah satu sudut TPA, Serli dan suaminya membangun gubuk sederhana dari terpal, seng, dan kayu bekas. Gubuk ini menjadi tempat mereka berteduh dari panas terik matahari dan hujan, sekaligus tempat untuk memasak air panas serta menyimpan sampah yang telah disortir. Tempat ini juga menjadi simbol keuletan mereka dalam mengatasi kerasnya kehidupan di tengah keterbatasan.
“Kenapa kita harus malu, sedangkan ini adalah pekerjaan halal,” ujar Serli dengan tegas, Minggu, 27 Oktober 2024.
Senyum bangga terpancar dari wajah keriputnya, menunjukkan keteguhan hati yang tidak goyah oleh pandangan miring orang lain. Baginya, menjadi pemulung bukanlah aib, melainkan pekerjaan yang jujur dan menjadi sumber penghidupan mereka sehari-hari.
Namun, di balik senyum yang penuh semangat itu, ada tantangan berat yang harus dihadapi setiap hari. Serli mengaku sering merasakan sakit kepala setelah berjam-jam bekerja di bawah terik matahari atau ketika terpapar bau busuk sampah. Ketika hujan deras mengguyur, pekerjaan memilah sampah semakin sulit, memaksanya untuk bekerja lebih keras. Meski begitu, ia dan suaminya tidak pernah menyerah.
“Kita harus tetap bekerja. Ini penghidupan kita,” ungkapnya dengan semangat.
Peran Ecofeminisme dalam Kehidupan Pemulung Perempuan
Kisah Serli Laluyan dan perjuangannya di TPA Poyowa Kecil sangat relevan dengan prinsip ecofeminisme, sebuah gerakan yang mengaitkan keadilan lingkungan dengan keadilan gender. Ecofeminisme menyoroti bagaimana perempuan sering kali berada di garis depan dalam menghadapi dampak buruk lingkungan, sementara kontribusi mereka dalam menjaga kelestarian alam kerap diabaikan.
Serli, sebagai perempuan pemulung, adalah contoh nyata bagaimana perempuan memainkan peran penting dalam pengelolaan limbah, yang pada dasarnya berkontribusi pada pelestarian lingkungan. Meskipun bekerja di bawah kondisi yang sulit, Serli menunjukkan bahwa pekerjaan memilah sampah, yang sering kali dianggap remeh oleh masyarakat, memiliki dampak signifikan dalam mengurangi sampah yang tidak dapat terurai secara alami. Melalui tangan-tangan terampilnya, sampah yang ia kumpulkan diolah kembali menjadi bahan yang bisa digunakan ulang, berkontribusi pada ekonomi sirkular yang lebih berkelanjutan.
Namun, seperti yang ditekankan oleh ecofeminisme, perempuan seperti Serli sering kali berada dalam posisi yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi, meskipun mereka bekerja di sektor yang sangat vital bagi lingkungan. Tantangan yang dihadapi Serli, mulai dari paparan polusi, kondisi kerja yang tidak layak, hingga kurangnya pengakuan atas pekerjaannya, mencerminkan ketidakadilan struktural yang dialami oleh banyak perempuan di bidang-bidang lingkungan.
Selain itu, beban ganda yang ditanggung perempuan pemulung, antara merawat keluarga dan berjuang di tempat kerja yang keras, memperjelas bagaimana isu lingkungan dan gender saling berkaitan. Keteguhan Serli tidak hanya menunjukkan kekuatannya sebagai perempuan, tetapi juga menggambarkan peran perempuan sebagai penjaga lingkungan, meskipun sering kali tanpa dukungan atau pengakuan yang memadai.
Pentingnya Dukungan dan Pengakuan
Ecofeminisme menekankan perlunya memberikan pengakuan dan dukungan lebih kepada perempuan yang bekerja di bidang lingkungan, termasuk pemulung seperti Serli. Pengelolaan limbah yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan memerlukan perhatian lebih terhadap kondisi kerja perempuan di sektor ini. Pekerjaan mereka harus dihargai, tidak hanya sebagai pekerjaan fisik, tetapi juga sebagai bagian dari upaya besar dalam melestarikan ekosistem yang sehat dan berkelanjutan.
Kisah Serli mengajak kita untuk melihat lebih dalam tentang peran perempuan dalam menjaga lingkungan. Meski bekerja dalam bayang-bayang gunungan sampah, ia tetap menjalankan tugasnya dengan bangga dan penuh dedikasi. Dan melalui perspektif ecofeminisme, kita dapat memahami bahwa perjuangan perempuan seperti Serli adalah bagian penting dari gerakan lingkungan global yang adil dan berkelanjutan.
Sahabat puan, Serli Laluyan dan pekerjaannya sebagai pemulung bukan hanya kisah keteguhan pribadi, tetapi juga potret bagaimana perempuan berkontribusi secara signifikan dalam pengelolaan lingkungan. Dari perspektif ecofeminisme, isu yang dihadapi Serli mencerminkan ketidakadilan ganda—baik dari segi gender maupun lingkungan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberikan perhatian lebih pada kondisi kerja perempuan di sektor lingkungan dan memastikan bahwa kontribusi mereka diakui serta didukung.
Di tengah tumpukan sampah yang menggunung, kisah Serli adalah bukti bahwa perempuan memegang peran vital dalam menjaga kelestarian alam. Melalui upaya mereka, lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan dapat tercipta, meski perjuangan mereka masih membutuhkan dukungan yang lebih besar dari masyarakat dan pemerintah.