TENTANGPUAN.com – Minahasa Utara sedang menghadapi salah satu kasus kekerasan seksual terberat, dengan sembilan orang diduga sebagai pelaku. Kasus ini mengundang perhatian publik karena keterlambatan penanganan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh korban dan keluarganya.
Sejak dilaporkan pada 11 Januari 2024, proses hukum kasus kekerasan seksual ini berjalan sangat lambat. Hanya satu terdakwa yang telah menjalani persidangan, sementara empat pelaku dewasa lainnya masih dalam tahap penyelidikan.
Kondisi ini memicu keresahan di kalangan pendamping dan Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KAKSBG), yang menilai aparat penegak hukum tidak serius menangani kasus ini.
Dalam sidang yang digelar pada Senin, 30 September 2024, hakim memutuskan hukuman yang jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
Terdakwa, yang seharusnya dijatuhi hukuman delapan tahun penjara, hanya dijatuhi hukuman enam tahun.
Selain itu, restitusi yang diminta korban sebesar Rp28 juta hanya disetujui sebesar Rp9 juta, dengan alasan bahwa anak yang dilahirkan korban belum terbukti sebagai anak terdakwa.
“Ini keputusan yang sangat mengecewakan. Hak-hak korban seolah tidak diperhatikan, sementara terdakwa mendapat keringanan hukuman,” ujar Nurhasannah, Koordinator KAKSBG.
Proses persidangan juga memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap korban. Hakim dua kali meminta korban hadir di persidangan untuk memberikan kesaksian, tanpa memperhitungkan trauma yang dialami.
Meskipun ada surat keterangan psikolog yang menyatakan korban tidak layak hadir karena kondisi mentalnya, permintaan tersebut tetap diabaikan.
Empat terdakwa lainnya, yang masih di bawah umur, juga belum menjalani persidangan. Jaksa Penuntut Umum mengembalikan berkas ke penyidik dengan alasan kurangnya alat bukti, meskipun pendamping korban menyatakan bukti-bukti yang ada sudah cukup untuk menaikkan kasus ke tahap penyidikan.
KAKSBG juga menyoroti lambatnya penyelesaian kasus ini di tangan aparat hukum Minahasa Utara. Pendamping korban mengalami kesulitan mendapatkan informasi terkait perkembangan kasus dari Polres Minahasa Utara, sehingga mereka harus melaporkan hal ini ke Polda Sulawesi Utara. Salah satu oknum aparat, Bripda YT, bahkan dinyatakan bersalah terkait penanganan kasus ini.
“Minahasa Utara saat ini darurat kekerasan seksual, tetapi penegakan hukumnya sangat lambat dan tidak memihak korban,” tegas Nurhasannah.
Ia juga mendesak aparat penegak hukum untuk lebih serius menangani kasus ini, terutama dengan mempercepat proses penyelidikan dan memastikan perlindungan penuh bagi korban.
Kasus ini menjadi perhatian besar di Sulawesi Utara dan diharapkan menjadi pelajaran penting bagi aparat hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual di masa depan.