TENTANGPUAN.com – Peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September,yang harusnya menjadi momentum untuk meningkatkan kesejahteraan petani, justru bertolak belakang dengan suara perempuan petani di Desa Pindol, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow.
Adalah Sumarni Potabuga (60), yang kini hidup seorang diri setelah ditinggal suaminya. Ia berbagi kisahnya yang mengungkapkan betapa sulitnya kehidupan yang ia jalani pasca kehilangan lahan kebun yang menjadi sumber penghidupannya, akibat pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Lolak.
Sambil menunjuk lahan yang sekarang tergenang dan kini tak lagi bisa ia garap, Sumarni bercerita bagaimana dirinya terusir dari lahan tanpa adanya ganti rugi dari pemerintah.
Dengan mata yang berkaca-kaca, ia berkata, “Saya kecewa dengan pemerintah, termasuk Pak Jokowi. Hari-hari ini saya kesulitan memenuhi kebutuhan,” ucapnya.
Lahan pertanian yang hilang membuat Sumarni terpaksa mengandalkan lahan pinjaman, namun usia senjanya membuat tenaga yang ia miliki semakin menipis.
Tak hanya kehilangan lahan, Sumarni juga mengaku tidak lagi mendapatkan bantuan sosial apapun dari pemerintah.
“Yang saya lihat, justru warga yang ada mobil dan serba berkecukupan justru jadi penerima BLT, saya tidak,” ujarnya dengan penuh kekecewaan.
Di sisi lain, Aktivis Perempuan Sulawesi Utara, Ruth Ketsia, menyoroti masalah yang dihadapi Sumarni dan banyak perempuan petani lainnya. Ruth menjelaskan bahwa kehilangan lahan tidak hanya merampas sumber kehidupan.
“Ketika tidak ada ganti rugi lalu bagaimana, mereka telah kehilangan ruang aman, kehilangan tanah sendiri. Menjadi korban, yang imbasnya membawa efek lain seperti anak putus sekolah dan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal kewajiban negara harus memenuhi hak mereka, termasuk hak atas hidup yang layak,” ucap Ruth, Senin, (24 September 2024).
Dia juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang kekerasan berlapis yang dihadapi perempuan akibat perampasan ruang hidup.
“Negara di mana? Kekerasan berlapis sangat memprihatinkan, ketika negara merampas hak setiap warga. Bukan hanya lahan, tetapi juga kehidupan itu sendiri, kehilangan harapan dan memori, serta kenangan untuk bisa hidup bersama keluarga dan merancang masa depan,” tambahnya dengan nada serius.
Menurut Ruth, negara harusnya menjadi garda terdepan yang memberi perhatian pentingnya pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan petani perempuan, bukan sebaliknya
“Jangan samapi justru negara yang merampas tanah, ruang hidup, dan termasuk hak hidup petani perempuan itu sendiri. Hak dari orang-orang yang sebenarnya suara dan perjuangan mereka harus didengar untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua,” tegas Ruth.
Sumarni dan perempuan petani lainnya pantas mendapatkan kehidupan yang layak dan hak atas lahan yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Di tengah segala kesulitan dan ketidakadilan yang dihadapinya, Sumarni tetap menggantungkan harapannya kepada keadilan ilahi.
“Saya percaya keadilan Allah SWT, pasti Allah akan membalas perbuatan pemimpin yang zalim,” tutupnya penuh keyakinan.