Perempuan Pemimpin di Tengah Perjalanan Iman Mualaf

Sulastri Paputungan, (Foto: Tentangpuan.com/Neno Karlina).

TENTANGPUAN.com – Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan modernisasi di Kota Kotamobagu, seorang perempuan berdiri teguh di antara banyak peran yang harus dijalani: sebagai ibu, pemimpin masyarakat, sekaligus pembina bagi para mualaf.

Dialah Sulastri Paputungan, mantan lurah atau Sangadi Guhanga, yang baru saja dipercaya menjadi salah satu pembina Yayasan Pembina Mualaf At-Taubah (YPMA) Kota Kotamobagu.

Yayasan yang resmi dibentuk pada Jumat, 17 Oktober 2025 ini beralamat di Jalan AKD, Kelurahan Mongkonai Barat, dan merupakan perpanjangan kepengurusan dari YPMA Sulawesi Utara.

Bagi Sulastri, keberadaan yayasan ini bukan hanya soal pembinaan spiritual, tetapi juga tentang membuka ruang baru bagi para perempuan, khususnya mualaf, agar bisa tumbuh bersama dalam iman dan kemandirian.

“Kemaslahatan mualaf adalah juga tanggung jawab bersama yang perlu didorong oleh umat muslim dan kita semua. Membangun harmonisasi antarumat beragama akan berkembang dengan baik dan akan dinikmati di Kota Kotamobagu,” ujar Sulastri.

Sebagai seorang perempuan yang telah lama berkecimpung di dunia pelayanan publik, Sulastri memahami betul bahwa proses menjadi mualaf bukan hanya soal keyakinan, melainkan juga perjalanan panjang untuk diterima dan dimengerti oleh lingkungan sosialnya.

Di sinilah peran perempuan menjadi penting, mereka hadir sebagai jembatan antara kasih, empati, dan penguatan iman.

Sulastri meyakini, perempuan, baik yang lahir muslim maupun yang baru mengenal Islam, memiliki potensi besar dalam membangun kehidupan beragama yang inklusif. Karena itu, ia mendorong agar YPMA tidak hanya menjadi wadah pembinaan spiritual, tetapi juga ruang pembelajaran dan pemberdayaan ekonomi bagi para mualaf perempuan.

“Sebagai perempuan, kita harus memastikan mualaf perempuan juga diberi ruang berkiprah di lintas sektor. Yayasan ini bisa menjadi tempat mereka belajar, berdaya, dan menguatkan diri,” tambahnya.

Baginya, keterlibatan perempuan dalam lembaga keagamaan sering kali masih dianggap sekunder.

Padahal, perempuan memiliki peran penting dalam membangun jaring solidaritas sosial yang kokoh, terutama bagi kelompok rentan seperti mualaf.

Ketua YPMA Kota Kotamobagu, Nurhayati Regar, (Foto: Tentangpuan.com/Neno Karlina).

Dalam struktur awal YPMA, Sulastri menjadi salah satu tokoh pembina yang mendampingi Ketua YPMA Kota Kotamobagu, Nurhayati Regar. Nur sendiri adalah sosok perempuan lain yang memimpin yayasan dengan semangat serupa.

“Di Wisma Haji Manado selama tiga hari kami mengikuti pelatihan pembimbing dan pembina. Setelah itu kami turun ke lapangan untuk kerja nyata, merangkul saudara-saudara kita mualaf agar bisa bersama-sama belajar dan berkegiatan,” tutur Nurhayati.

Meski struktur kepengurusan masih dalam tahap koordinasi, YPMA mulai bergerak aktif dengan membangun komunikasi lintas instansi, termasuk dengan Pemkot Kotamobagu, Kemenag, dan Baznas.

Bagi Sulastri, dukungan lintas lembaga itu penting, tetapi yang lebih utama adalah memastikan bahwa yayasan ini bisa menjadi tempat di mana mualaf merasa diterima tanpa syarat.

“Tidak hanya bimbingan agama, tapi juga perhatian dan pendampingan keseharian. Mereka butuh teman bicara, butuh ruang untuk merasa menjadi bagian dari kita,” katanya.

Sulastri melihat pembinaan mualaf sebagai wujud nyata dari prinsip keislaman yang rahmatan lil ‘alamin-rahmat bagi semesta.

Dalam praktiknya, ia sering menekankan pendekatan yang hangat dan tidak menghakimi.

“Perempuan punya kelembutan hati yang bisa menjadi pintu dakwah. Banyak mualaf, terutama perempuan, datang dengan kisah hidup yang rumit. Tugas kita adalah menenangkan, bukan menakuti,” ucapnya.

Pembina lain, Bambang Ginoga, mantan Kadis DLH Kota Kotamobagu, juga memberi apresiasi terhadap kepemimpinan perempuan di yayasan ini.

“Lewat YPMA, kita bisa saling merangkul dan mempererat silaturahmi. Semoga kita sekalian tetap istiqamah dan selalu mendapatkan rahmat Allah SWT,” katanya.

Kehadiran perempuan seperti Sulastri dan Nur di tubuh YPMA menjadi penanda bahwa pembinaan mualaf bukan semata urusan keagamaan, tetapi juga perjuangan sosial yang berperspektif gender. Mereka membuktikan bahwa kepemimpinan perempuan di bidang dakwah dan sosial bukan hanya mungkin, tapi juga dibutuhkan.

Terpisah, Meike Sabar, seorang mualaf perempuan dari Kelurahan Biga, menyambut hangat kehadiran YPMA dan berharap bisa belajar banyak dari para pembina perempuannya.