TENTANGPUAN.com – Dalam masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat, keputusan mengenai nasib anak perempuan sering kali tidak berada di tangan mereka sendiri. Hal ini menjadi perhatian Dewi Fatmawati, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Kotamobagu, yang menilai pentingnya pendampingan dan peran orang tua untuk mencegah anak agar tidak terjerumus dalam situasi yang merugikan akibat ketidaktahuan.
Menurut Dewi, banyak kasus di mana anak perempuan akhirnya menghadapi kehancuran hidup, bukan karena pilihan mereka sendiri, melainkan karena tekanan sosial dan budaya yang masih kuat di masyarakat.
“Penting sekali peran orang tua, terutama ibu dan ayah, dalam mendampingi anak-anak perempuan agar mereka tidak terjerumus pada kehancuran akibat ketidaktahuan,” ujar Dewi, Selasa (14/10/2025).
Ia menekankan bahwa di daerah seperti Kotamobagu, di mana adat masih memiliki legitimasi sosial yang kuat, keputusan mengenai anak perempuan sering kali diambil berdasarkan pandangan adat, bukan atas dasar kepentingan dan keselamatan anak itu sendiri.
Padahal, lanjut Dewi, dalam Islam—agama mayoritas di Kotamobagu—pernikahan bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan sosial yang muncul di masyarakat. Ia menegaskan, hukum pernikahan dalam Islam bersifat dinamis dan situasional.
“Dalam agama Islam hukum pernikahan tidak hanya wajib, namun bisa saja, sunnah dan bahkan haram. Jadi, seharusnya pernikahan tidak selalu jadi solusi ketika terjadi persoalan di tengah masyarakat,” tegasnya.
Pernyataan Dewi ini mengacu pada banyaknya fenomena di mana anak perempuan yang menghadapi masalah sosial, seperti kehamilan di luar nikah atau pergaulan bebas, justru dinikahkan dini atas nama menjaga kehormatan keluarga. Padahal, solusi seperti itu justru kerap melahirkan penderitaan baru.
“Anak perempuan dinikahkan dengan laki-laki yang bahkan belum mampu, padahal syarat nikah adalah mampu,” kata Dewi.
Syarat “mampu” untuk menikah merujuk pada kemampuan fisik dan mental, serta kesiapan untuk bertanggung jawab atas beban pernikahan, bukan hanya kemampuan finansial semata.
Dalam Islam, seseorang yang “mampu” adalah yang telah baligh dan mumazis, yaitu dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Kesiapan ini melengkapi syarat-syarat sah nikah lainnya, seperti beragama Islam, tidak dalam paksaan, dan adanya wali serta saksi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan, Sulawesi Utara termasuk dalam 10 provinsi dengan angka perkawinan anak yang masih tinggi, yakni 8,73 persen. Di Kotamobagu sendiri, meskipun tidak setinggi rata-rata provinsi, kasus pernikahan anak tetap terjadi, terutama di wilayah pinggiran yang masih kental dengan budaya adat.
Fenomena ini mengindikasikan lemahnya edukasi seksualitas dan pendampingan psikososial bagi anak perempuan.
“Sering kali yang jadi korban malah disalahkan, padahal mereka justru butuh perlindungan dan pemahaman,” tutur Dewi.
Dalam konteks perlindungan hukum, sebenarnya Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang merevisi batas usia perkawinan menjadi minimal 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun, dalam praktiknya, banyak dispensasi nikah masih diberikan oleh pengadilan agama, termasuk dengan alasan adat dan tekanan sosial.
Data Mahkamah Agung menunjukkan, pada tahun 2024 terdapat lebih dari 50 ribu permohonan dispensasi kawin di seluruh Indonesia, dan 85 persen di antaranya dikabulkan. Angka ini menandakan bahwa hukum belum sepenuhnya mampu melindungi anak dari praktik pernikahan dini yang seringkali menjerat perempuan.
Dewi menilai, akar persoalan ini bukan hanya pada hukum, tapi juga pada ketimpangan peran dalam lembaga adat yang masih didominasi laki-laki. Ia menyoroti belum adanya ruang yang cukup bagi perempuan untuk ikut menentukan arah kebijakan sosial budaya di tingkat desa dan kampung.
“Saya tidak tahu pasti, apakah memang tidak bisa perempuan duduk jadi lembaga adat atau seperti apa,” ucapnya.
Menurut Dewi, selama lembaga adat masih tertutup bagi perempuan, maka suara dan pengalaman perempuan tidak akan pernah menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidup perempuan itu sendiri.
“Pun kalau tidak bisa perempuan menempati posisi lembaga adat, setidaknya harus ada laki-laki yang paham, dan berperspektif feminist, sebab bagaimana pun urusan anak perempuan dan perempuan sendiri hanya akan bisa dimengerti dan dibahas oleh perempuan,” lanjutnya.
Pandangan Dewi ini sejalan dengan hasil penelitian Komnas Perempuan tahun 2022 yang menemukan bahwa 78 persen keputusan adat di Indonesia masih bias gender dan tidak mempertimbangkan perspektif perempuan.
Bahkan, dalam beberapa kasus, keputusan adat justru memperkuat diskriminasi, seperti dalam hal warisan, pernikahan, dan penyelesaian kasus kekerasan berbasis gender.
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa masih banyak komunitas adat yang menggunakan dalih “melindungi martabat keluarga” untuk memaksa anak perempuan menikah dengan pelaku kekerasan atau orang yang tidak mereka kenal. Praktik ini disebut sebagai bentuk kekerasan berbasis adat yang sering tidak tersentuh hukum formal.
Dalam konteks Kotamobagu, beberapa tokoh perempuan juga mulai menyuarakan pentingnya reformasi peran lembaga adat agar lebih inklusif terhadap perempuan. Mereka menilai, jika perempuan tidak dilibatkan dalam struktur adat, maka kebijakan yang dihasilkan akan terus menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.
Selain itu, Dewi menyoroti peran pendidikan dan komunikasi dalam membangun kesadaran keluarga. Ia menilai, Dinas Komunikasi, tempatnya bekerja, juga memiliki peran strategis dalam penyebaran informasi yang ramah anak dan berperspektif gender.
“Komunikasi publik kita harus bisa jadi jembatan edukasi, bukan hanya sekadar menyampaikan informasi,” ujarnya.
Pendekatan komunikasi yang sensitif gender, menurutnya, dapat membantu mengubah pandangan masyarakat tentang perempuan, terutama dalam isu-isu seperti pernikahan dini, kekerasan berbasis adat, dan partisipasi perempuan dalam ruang publik.
Dewi berharap, ke depan lembaga adat di Kotamobagu bisa lebih terbuka terhadap perempuan dan menjadikan nilai-nilai adat sebagai kekuatan untuk melindungi, bukan mengekang.
“Adat seharusnya menjadi pelindung, bukan alat untuk menindas atau membatasi ruang gerak anak perempuan,” tutupnya.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan bagian dari serial liputan khusus “Perempuan Kecil, Adat Besar” yang menyoroti nasib anak perempuan dalam sistem sosial-budaya di Kotamobagu dan sekitarnya.