HAKtP 2025: Perempuan Mahardhika Desak Hentikan Kekerasan dan Peminggiran Perempuan

(Foto: Pers Rilis).

TENTANGPUAN.com – Perempuan Mahardhika menggelar Aksi Nasional Serentak pada 25 November 2025, bertepatan dengan momen Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) yang diperingati secara global hingga 10 Desember.

Aksi ini berlangsung di empat kota besar, yakni Jakarta, Samarinda, Palu, dan Manokwari, dengan mengangkat tema sentral “Kerja Layak dan Bebas Kekerasan Tidak Akan Terwujud dalam Rezim Anti Demokrasi”.

Kegiatan nasional ini bertujuan untuk memperkuat komitmen global gerakan perempuan dalam mengakhiri segala bentuk penyiksaan dan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, mengingat sejarah kelam penyiksaan dan pembunuhan Mirabal Bersaudara pada 25 November 1960.

Di Indonesia, peringatan HAKtP kali ini memiliki relevansi kuat di tengah situasi “arus balik” demokrasi pada pemerintahan Prabowo-Gibran, yang ditandai pola-pola kekuasaan otoriter.

Dari sinergi data Kementerian PPPA, Komnas Perempuan, dan FPL, terjadi peningkatan laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 35.533 kasus pada Januari hingga Desember 2024, meningkat 2,4% dari tahun sebelumnya, termasuk 290 kasus femisida atau pembunuhan perempuan.erkosaan Marsinah, yang kini telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

Pengabaian ini, menurut Perempuan Mahardhika, semakin menunjukkan karakter pemerintahan otoriter yang berkepentingan melanggengkan ketidaksetaraan relasi gender guna memperkuat kontrol seksual dan penundukan terhadap perempuan.

Melaui pernyataan sikap yang diterima Zonautara.com, Perempuan Mahardhika juga menyoroti bahwa jauh sebelum memasuki dunia kerja, perempuan telah mengalami proses penundukan sistematis.

Hal ini berkorelasi dengan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang lebih rendah, yakni hanya 56,7% dibandingkan laki-laki yang mencapai 84,34% (Februari 2025).

Minimnya perlindungan sosial, seperti cuti melahirkan 6 bulan yang baru dinikmati sebagian kecil pekerja formal, minimnya pelayanan perawatan anak, serta minimnya penghargaan dan promosi pada pekerja perempuan, menjadi faktor utama.

Sebanyak 64,25% dari total pekerja informal pada tahun 2023 adalah perempuan, dengan relasi kerja yang rentan seperti upah rendah, jam kerja tidak menentu, target kerja tidak manusiawi, dan minimnya jaminan sosial.

Selain itu, watak industri ekstraktivisme di Indonesia, seperti pengerukan tanah, penebangan hutan, dan pengeboran laut, memperkuat proses penyingkiran perempuan dari ruang kehidupan dan semakin melemahkan posisi perempuan.

Program Swasembada Pangan dan Energi yang menjadi prioritas pemerintahan Prabowo-Gibran, seperti proyek food estate di Merauke, Papua Selatan, yang diperkirakan akan membabat lahan seluas 2,29 juta hektar atau 70 kali luas Jakarta, serta pembentukan setidaknya 500 Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan, menunjukkan pendekatan militeristik dan kekerasan.

Program ini dianggap berdiri di atas kerusakan lingkungan, penghancuran hak-hak masyarakat adat, dan kriminalisasi pejuang yang mempertahankan wilayahnya dari gerusan mega proyek tersebut.

Komitmen pemerintah terhadap krisis iklim pun dinilai sebagai “solusi palsu” karena lebih mengedepankan akumulasi keuntungan daripada kelestarian lingkungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Berangkat dari uraian situasi di atas, Perempuan Mahardhika menyatakan sikap dalam peringatan 16 HAKtP 2025:

Pertama, segala bentuk kekerasan terhadap perempuan harus dihentikan. Pemerintah Indonesia perlu bergerak untuk mengikis ketidaksetaraan relasi gender dan mengarusutamakan perspektif anti kekerasan terhadap perempuan ke berbagai aspek kehidupan bernegara baik itu ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Pemerintah Indonesia harus mengakui dan mengusut tuntas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari pelanggaran HAM masa lalu untuk mencegah pola keberulangannya di masa kini.

Kedua, kerja layak adalah hak fundamental bagi setiap orang. Pemerintah Indonesia harus menempatkan penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan jaminan sosial sebagai inti dari pembuatan kebijakan ekonomi dan rencana pembangunan.

Pertumbuhan ekonomi tanpa lapangan pekerjaan adalah pengabaian terhadap hak asasi.

Pemerintah Indonesia harus menghentikan segala bentuk intimidasi dan ancaman pada aktivis yang memperjuangkan kerja layak, serta melindungi dan menjamin hak kebebasan berpendapat, berorganisasi, serta berserikat.

Ketiga, kerja layak bebas kekerasan tidak akan terwujud tanpa demokrasi dan lingkungan yang lestari.

Pemerintah Indonesia harus menghentikan proyek-proyek strategis nasional yang membabat hutan dan merampas kehidupan masyarakat yang hidup didalamnya.

Pemerintah Indonesia harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi, ancaman pada pejuang lingkungan dan mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang menarget pejuang lingkungan.

Perempuan Mahardhika menyadari bahwa berbagai tuntutan di atas akan selalu kalah dengan logika ekonomi politik yang menempatkan akumulasi keuntungan di atas kelestarian lingkungan dan pemenuhan HAM.

Oleh karena itu, melalui semangat Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini, mereka menyatakan, “Kami mau perubahan sistem! Kami menyerukan kepada kawan-kawan perempuan untuk ayo berorganisasi, bergerak bersama berjuang untuk perubahan sistem! #ResetIndonesia”.